POTRET
PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Akhir-akhir
ini sangat prihatin terhadap sistem penegakan hukum di Indonesia, khususnya
penegakan hukum pidana. Sangat kentara sekali terlihat bagaimana circumstance
para penegak hukum Indonesia telah kehilangan sifat arif dan bijaksananya.
penegakan hukum dilakukan dengan cara arogansi dan tidak berbudaya. Etika,
moral, kearifan-kearifan budaya masyarakat dikesampingkan, mereka tidak ubahnya
benda mati yang digerakkan oleh undang-undang. Penegakan hukum tidak lagi dilakukan
dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (Policy oriented approach)
dan pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach), dan
penegakan hukum yang seperti itu telah melenceng jauh dari faham pancasila
sebagai dasar negara. Situasi yang demikian sungguh sangat memprihatinkan dan
berpotensi menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara.
Kasus yang menimpa Nenek Asyani yang sekarang menjadi terdakwa di meja hijau
atas kasus pencurian 7 (tujuh) batang kayu di PN Sitobondo, Jawa Timur sangat
mengujutkan publik khususnya dunia penegakan hukum Indonesia. Pasalnya Nenek
yang telah berumur 63 (enam puluh tiga) tahun tersebut telah mendatangi Sawin,
seorang Mantri Perhutani untuk meminta maaf atas perbuatannya. Sebagaimana yang
diberitakan oleh berbagai media, Nenek Asyani tersebut didakwa oleh Jaksa
dengan Pasal 12 huruf d juncto Pasal 83 ayat (1) huruf a UU No. 8 Tahun 2013
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman penjara 5 tahun.
Sungguh potret penegakan hukum yang sangat memalukan, dan hal tersebut terjadi
untuk yang kesekian kalinya, setelah sebelumnya Nenek Artijeh (70 Tahun), dan
yang paling fenominal kasus yang menimpa Nenek Minah yang dihukum karena
mencuri 3 buah kakao.
Penegakan
Hukum Berbasis Pancasila
Menyoroti tindakan penegak hukum yang telah kehilangan common sensenya
tersebut, timbul berbagai pertanyaan dalam diri penulis haruskah semua kasus
tindak pidana diselesaikan di meja hijau (court)? Pada dasarnya, sistem
penyelesaian perkara (case) di pengadilan bukanlah merupakan budaya atau adat
istiadat bangsa Indonesia, sistem tersebut merupakan sistem peninggalan bangsa
colonial yang menjajah indonesia berabad-abad lamanya dan juga sebenarnya
sistem itu telah usang untuk terus diterapkan di Indonesia, oleh karena itu
banyak ketidak cocokan dengan adat budaya bangsa ini. Yang mana Indonesia
merupakan bangsa yang bermartabat dan berbudaya memiliki sistem penyelesaian
perkara tersendiri yang telah hidup dan tumbuh bahkan sebelum Indonesia
merdeka.
Sistem yang dimiliki dan telah diperaktekkan oleh masyarakat Indonesia dalam
menyelesaikan segala persoalan kehidupannya adalah sistem penyelesaian perkara
berbasis Pancasila yang telah menjadi falsafah hidup dan ground norm hukum
Indonesia yang menurut Notanogoro, telah ada dan hidup sejak sebelum Indonesia
merdeka . Sila-sila tersebut adalah satu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, yang kesemuanya dibungkus dalam wadah Pancasila.
Dalam menegakkan hukum Indonesia, para penegak hukum seharusnya dan sepatutnya
memperhatikan ajaran-ajaran yang terkandung dalam Pancasila tersebut, seperti
ajaran ketuhanan, para penegak hukum harus memiliki nilai-nilai ketuhanan
seperti kejujuran, kebaikan, dan pemaafan, itu adalah nilai ajaran ketuhanan
yang ada dalam semua agama. Kemudian aspek kemanusiaan, penegak hukum harus
memperhatikan betul aspek kemanusiaan tersebut, jangan sampai ada pendholiman
terhadap warga bangsa, selanjutnya asas Kebijaksanaan dan permusyawaratan,
prinsip ini sangat urgen sekali untuk diperhatikan oleh penegak hukum
Indonesia. Untuk diperhatikan oleh penegak hukum Indonesia bahwa masyarakat
Indonesia bukanlah masyarakat pemarah dan pendendam, masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang bijaksana, berbudi pekerti luhur dan lebih mengedepankan
musyawarah dalam setiap penyelesaian persoalan kehidupannya, itulah falsafah
hidup bangsa ini yang telah menjadi jiwa dalam setiap perbuatannya, bukankah
cara penyelesaian perkara dengan prinsip Pancasila merupakan cara yang
bermartabat, daripada harus dibawa ke muka persidangan dan cara itu sangat
memalukan untuk masalah yang sepele.
Tujuan
Pemidanaan
Apa tujuan yang sebenarnya dari penegak hukum khususnya Kepolisian dan
Kejaksaan dalam membawa Nenek Asyani ke pengadilan, apa yang hendak mereka
capai dengan menghukum Nenek 63 tahun tersebut, penulis berkeyakinan penegak
hukum yang memproses Nenek Asyani tidak mungkin dapat menjawab pertanyaan
tersebut. Karena para penegak hukum Indonesia kurang membaca dan mengikuti
perkembangan hukum modern ini. Menurut Mc Connel, tujuan pidana adalah
expiation (penebusan), retribution (ganti rugi), deterrence (pencegahan),
reformation (pemulihan), social utility (kemamfaatan), jadi tujuan dari hukum
pidana bukan untuk mempidanakan atau menyengsarakan orang itu harus difahami
betul oleh para penegak hukum. Kemudian menurut Barda, tujuan dari hukum pidana
adalah untuk menyelesaikan konflik di masyarakat, demikian apabila konflik di
masyarakat telah terselesaikan maka tujuan dari hukum pidana telah tercapai.
Apakah penyelesaian konflik harus selalu di pengadilan, tentu tidak demikian,
sebagai yang penulis sampaikan di atas bahwa masyarakat Indonesia lebih
mengedapankan proses Musyawarah dalam setiap menyelesaikan persoalan
kehidupannya.
Selain
itu, kalaulah memang seseorang itu harus diberikan pidana yang
menyengsarakannya itu harus menjadi upaya terakhir (ultimum remedium)
sebagaimana yang diungkapkan oleh menteri kehakiman Belanda Mr. Modderman,
beliau mengatakan bahwa yang dapat dihukum itu pertama-tama adalah
pelanggaran-pelanggaran hukum, ini merupakan suatu conditio sine qua non.
Kedua, adalah bahwa yang dapat dihukum adalah pelanggaran-pelanggaran hukum,
yang menurut pengalaman tidaklah dapat ditiadakan dengan cara-cara yang lain.
Hukuman itu hendaklah menjadi upaya terakhir (ultimum remedium). Lalu
pertanyaanya benarkah tidak ada cara lain untuk menyelesaikan kasus Nenek
Asyani selain dibawa ke pengadilan, bukankah dalam pendekatakan hukum pidana
telah berkembang konsep restorative justice dan penal mediation system yang lebih
menekankan kebutuhan daripada para korban, pelaku kejahatan, dan juga
melibatkan peran serta masyarakat dalam pemberian pidana. Sehingga dengan
konsep tersebut Nenek Asyani tidak perlu dibawa ke pengadilan, cukup dia
diminta untuk mengembalikan barang yang dicurinya dan denda secukupnya itupun
kalau diperlukan, akan tetapi buat apa juga pemerintah meminta Nenek Aisyah
untuk bayar denda karena yang dicurinya kayu milik Negara. Dengan banyaknya
cara yang dapat ditempuh oleh penegak hukum lalu kenapa mereka ngotot untuk
memenjarakan Nenek Aisyah dengan memproses hukum ala Budaya Kolonial. Apakah
mereka ingin menunjukkan superioritasnya sebagai penegak hukum, kalau itu
benar, ini menandakan buramnya potret penegakan hukum Indonesia.
hay bosku anda bingung mencari bandar togel
BalasHapusyuk bergabung bersama kami di togel pelangi
togel terbaik dan terpecaya 100% aman
http://www.togelpelangi.com/