Sabtu, 05 Desember 2015

POTRET PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA


POTRET PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

Akhir-akhir ini sangat prihatin terhadap sistem penegakan hukum di Indonesia, khususnya penegakan hukum pidana. Sangat kentara sekali terlihat bagaimana circumstance para penegak hukum Indonesia telah kehilangan sifat arif dan bijaksananya. penegakan hukum dilakukan dengan cara arogansi dan tidak berbudaya. Etika, moral, kearifan-kearifan budaya masyarakat dikesampingkan, mereka tidak ubahnya benda mati yang digerakkan oleh undang-undang. Penegakan hukum tidak lagi dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (Policy oriented approach) dan pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach), dan penegakan hukum yang seperti itu telah melenceng jauh dari faham pancasila sebagai dasar negara. Situasi yang demikian sungguh sangat memprihatinkan dan berpotensi menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara.
            Kasus yang menimpa Nenek Asyani yang sekarang menjadi terdakwa di meja hijau atas kasus pencurian 7 (tujuh) batang kayu di PN Sitobondo, Jawa Timur sangat mengujutkan publik khususnya dunia penegakan hukum Indonesia. Pasalnya Nenek yang telah berumur 63 (enam puluh tiga) tahun tersebut telah mendatangi Sawin, seorang Mantri Perhutani untuk meminta maaf atas perbuatannya. Sebagaimana yang diberitakan oleh berbagai media, Nenek Asyani tersebut didakwa oleh Jaksa dengan Pasal 12 huruf d juncto Pasal 83 ayat (1) huruf a UU No. 8 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman penjara 5 tahun. Sungguh potret penegakan hukum yang sangat memalukan, dan hal tersebut terjadi untuk yang kesekian kalinya, setelah sebelumnya Nenek Artijeh (70 Tahun), dan yang paling fenominal kasus yang menimpa Nenek Minah yang dihukum karena mencuri 3 buah kakao.
Penegakan Hukum Berbasis Pancasila
            Menyoroti tindakan penegak hukum yang telah kehilangan common sensenya tersebut, timbul berbagai pertanyaan dalam diri penulis haruskah semua kasus tindak pidana diselesaikan di meja hijau (court)? Pada dasarnya, sistem penyelesaian perkara (case) di pengadilan bukanlah merupakan budaya atau adat istiadat bangsa Indonesia, sistem tersebut merupakan sistem peninggalan bangsa colonial yang menjajah indonesia berabad-abad lamanya dan juga sebenarnya sistem itu telah usang untuk terus diterapkan di Indonesia, oleh karena itu banyak ketidak cocokan dengan adat budaya bangsa ini. Yang mana Indonesia merupakan bangsa yang bermartabat dan berbudaya memiliki sistem penyelesaian perkara tersendiri yang telah hidup dan tumbuh bahkan sebelum Indonesia merdeka.
            Sistem yang dimiliki dan telah diperaktekkan oleh masyarakat Indonesia dalam menyelesaikan segala persoalan kehidupannya adalah sistem penyelesaian perkara berbasis Pancasila yang telah menjadi falsafah hidup dan ground norm hukum Indonesia yang menurut Notanogoro, telah ada dan hidup sejak sebelum Indonesia merdeka . Sila-sila tersebut adalah satu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang kesemuanya dibungkus dalam wadah Pancasila.
            Dalam menegakkan hukum Indonesia, para penegak hukum seharusnya dan sepatutnya memperhatikan ajaran-ajaran yang terkandung dalam Pancasila tersebut, seperti ajaran ketuhanan, para penegak hukum harus memiliki nilai-nilai ketuhanan seperti kejujuran, kebaikan, dan pemaafan, itu adalah nilai ajaran ketuhanan yang ada dalam semua agama. Kemudian aspek kemanusiaan, penegak hukum harus memperhatikan betul aspek kemanusiaan tersebut, jangan sampai ada pendholiman terhadap warga bangsa, selanjutnya asas Kebijaksanaan dan permusyawaratan, prinsip ini sangat urgen sekali untuk diperhatikan oleh penegak hukum Indonesia. Untuk diperhatikan oleh penegak hukum Indonesia bahwa masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat pemarah dan pendendam, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bijaksana, berbudi pekerti luhur dan lebih mengedepankan musyawarah dalam setiap penyelesaian persoalan kehidupannya, itulah falsafah hidup bangsa ini yang telah menjadi jiwa dalam setiap perbuatannya, bukankah cara penyelesaian perkara dengan prinsip Pancasila merupakan cara yang bermartabat, daripada harus dibawa ke muka persidangan dan cara itu sangat memalukan untuk masalah yang sepele.
Tujuan Pemidanaan
            Apa tujuan yang sebenarnya dari penegak hukum khususnya Kepolisian dan Kejaksaan dalam membawa Nenek Asyani ke pengadilan, apa yang hendak mereka capai dengan menghukum Nenek 63 tahun tersebut, penulis berkeyakinan penegak hukum yang memproses Nenek Asyani tidak mungkin dapat menjawab pertanyaan tersebut. Karena para penegak hukum Indonesia kurang membaca dan mengikuti perkembangan hukum modern ini. Menurut Mc Connel, tujuan pidana adalah expiation (penebusan), retribution (ganti rugi), deterrence (pencegahan), reformation (pemulihan), social utility (kemamfaatan), jadi tujuan dari hukum pidana bukan untuk mempidanakan atau menyengsarakan orang itu harus difahami betul oleh para penegak hukum. Kemudian menurut Barda, tujuan dari hukum pidana adalah untuk menyelesaikan konflik di masyarakat, demikian apabila konflik di masyarakat telah terselesaikan maka tujuan dari hukum pidana telah tercapai. Apakah penyelesaian konflik harus selalu di pengadilan, tentu tidak demikian, sebagai yang penulis sampaikan di atas bahwa masyarakat Indonesia lebih mengedapankan proses Musyawarah dalam setiap menyelesaikan persoalan kehidupannya.
Selain itu, kalaulah memang seseorang itu harus diberikan pidana yang menyengsarakannya itu harus menjadi upaya terakhir (ultimum remedium) sebagaimana yang diungkapkan oleh menteri kehakiman Belanda Mr. Modderman, beliau mengatakan bahwa yang dapat dihukum itu pertama-tama adalah pelanggaran-pelanggaran hukum, ini merupakan suatu conditio sine qua non. Kedua, adalah bahwa yang dapat dihukum adalah pelanggaran-pelanggaran hukum, yang menurut pengalaman tidaklah dapat ditiadakan dengan cara-cara yang lain. Hukuman itu hendaklah menjadi upaya terakhir (ultimum remedium). Lalu pertanyaanya benarkah tidak ada cara lain untuk menyelesaikan kasus Nenek Asyani selain dibawa ke pengadilan, bukankah dalam pendekatakan hukum pidana telah berkembang konsep restorative justice dan penal mediation system yang lebih menekankan kebutuhan daripada para korban, pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat dalam pemberian pidana. Sehingga dengan konsep tersebut Nenek Asyani tidak perlu dibawa ke pengadilan, cukup dia diminta untuk mengembalikan barang yang dicurinya dan denda secukupnya itupun kalau diperlukan, akan tetapi buat apa juga pemerintah meminta Nenek Aisyah untuk bayar denda karena yang dicurinya kayu milik Negara. Dengan banyaknya cara yang dapat ditempuh oleh penegak hukum lalu kenapa mereka ngotot untuk memenjarakan Nenek Aisyah dengan memproses hukum ala Budaya Kolonial. Apakah mereka ingin menunjukkan superioritasnya sebagai penegak hukum, kalau itu benar, ini menandakan buramnya potret penegakan hukum Indonesia.


1 komentar:

  1. hay bosku anda bingung mencari bandar togel
    yuk bergabung bersama kami di togel pelangi
    togel terbaik dan terpecaya 100% aman
    http://www.togelpelangi.com/

    BalasHapus