POTRET
BURAMNYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
Tanggal
20 April 2012 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 4 tahun
sepuluh bulan penjara, denda 200 juta, subsider empat bulan kurungan penjara,
kepada terdakwa kasus korupsi wisma atlit SEA GAMES 2011 Muhammad Nazaruddin.
Vonis
yang dijatuhkan kepada MN, sebagaimana yang santer disuarakan para penggiat
anti korupsi merupakan vonis yang mengikuti vonis-vonis sebelumnya yang
dijatuhkan kepada para terdakwa kasus korupsi. Dengan kata lain vonis yang
dijatuhkan hakim kepada MN hanya mengikuti jejak hakim lain yang terlebih
dahulu telah menjatuhkan vonis kepada pelaku korupsi.
Vonis
yang dijatuhkan kepada kebanyakan para pelaku kasus korupsi di Indonesia
terbilang ringan jika dibandingkan dengan akibat perbuatannya. Korupsi sudah
jelas berakibat buruk terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bila
dilihat dari sisi agama, sangat jelas, tidak ada agama yang membenarkan
perbuatan tersebut. Dari sisi kehidupan bernegara, korupsi sangat merugikan
rakyat secara masif.. Kemudian kebijakan-kebijakan yang diambil, atau
produk-produk perundang-undangan yang dihasilkan hanya menguntungkan elit
politik, elit ekonomi, elit birokrasi. Kemudian korupsi juga menghambat akses
masyarakat mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan, dan birokrasi secara
maksimal, korupsi juga berpengaruh terhadap eskalasi tindakan kejahatan, hal
itu karena korupsi yan terjadi di bidang hukum menyebabkan lemahnya penegakan
hukum.
Muara
dari semua ini adalah sirnanya harapan menuju cita-cita kehidupan masyarakat
yang adil dan makmur, sejarah juga telah membuktikan negara yang telah dikuasai
oleh koruptor maka negara tersebut sedang menuju kehancuran. Reimon Aron
seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi,
alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin
penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah
korupsi. (B. Simanjuntak, S.H., 1981: 310).
Bahwa
kasus korupsi itu merupakan kasus besar, sehingga dalam penyelesaiannya
membutuhkan waktu dan proses penyelidikan secara mendalam. Berbelit-belit dan
rumitnya pengungkapkan kasus korupsi yang melibatkan elit politik, elit
birokrasi bukan hanya karena kasus itu merupakan kasus yang rumit, faktor pelaku
korupsi itu juga merupakan kendala dalam pengungkapan kasus ini, usaha pelarian
diri seperti yang dilakukan MN, Nunun Nurbaeti, perlawanan secara hukum maupun
politis, alasan berobat, merupakan hal-hal yang jamak kita lihat, yang
menyebabkan lamban dan sulitnya pengungkapan kasus korupsi di Indonesia.
Lihatlah
bagaimana besarnya energi negara yang terkuras ketika harus memproses MN secara
hukum. Negara dibuat cukup repot karena ulahnya yang melarikan diri. Lalu
setelah MN tertangkap dan diproses secara hukum dengan serta merta ia
mendapatkan perlindungan hukum dari para pengacara yang dengan kemampuan, dan
pengalamannya dapat mematahkan tuduhan, pasal, yang menjerat tersangka korupsi,
meski tidak serta merta membebaskan para pelaku korupsi namun pembelaan itu
telah mempengaruhi vonis hakim. Sehingga vonis hakim jadi lebih ringan.
Ironisme
pemberantasan korupsi di Indonesia, khususnya dalam kasus MN dapat kita lihat
dari rendahnya tuntutan jaksa, dimana jaksa yang menangani kasus ini menuntut
MN tujuh tahun penjara, padahal jaksa menilai MN terbukti melanggar pasal 12 UU
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), dan substansi dalam pasal
tersebut memungkinkan seorang pelaku korupsi dijatuhi hukuman maksimal yaitu
hukuman mati, atau penjara maksimal selama 20 tahun, berikut bunyi pasal 12
dengan tidak menyertakan uraian dari huruf a-i: dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000. 000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000. 000.000,00 (satu miliar rupiah).
Begitu juga dengan vonis yang dijatuhkan hakim. Justru vonis yang dijatuhkan hakim
jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa.
Hakim
sendiri menilai bahwa MN melanggar pasal 11, padahal hukuman maksimal yang
tertera dalam pasal tersebut adalah lima tahun penjara, dan denda maksimal 250
juta, namun hakim tidak menjatuhkan vonis maksimal karena ternyata MN divonis
jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa dan lebih ringan dari tuntutan maksimal
yang ada di dalam pasal 11, berikut bunyi pasal 11: dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 250.000. 000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan
atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran
orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya.
Tidak
Membuat Jera
Vonis
untuk MN yang begitu ringan, dan tak sebanding dengan kesalahan dan kerugian
yang disebabkannya merupakan anti klimaks atau potret buram pemberantasan
korupsi di Indonesia karena meski para pelaku tindak pidana korupsi menjalani
hukuman dan membayar denda, namun tetap saja itu tidak cukup membuat mereka
jera.
Karena
meski mereka telah menjalani hukuman itu, dipastikan tak ada yang berkurang
dari mereka, lihat saja bagaimana ketika mereka sedang menjalani hukuman di
penjara, ada pembedaan yang sangat kentara antara mereka dengan tahanan biasa,
karena mereka dengan kekayaan yang ada, baik karena hasil asli mata pencarian
mereka maupun kekayaan yang didapat dari sisa hasil korupsi setelah dipotong
denda, dan biaya menyewa para pengacara kondang, mereka tetap bisa mendapatkan fasilitas
yang berbeda.
Dan
nanti setelah mereka keluar, mereka masih tetap dapat hidup sejahtera secara
ekonomi. Dalam kasus MN misalnya; dapat kita asumsikan berapa kekayaan MN (sisa
uang hasil korupsinya). MN di dakwa menerima suap dari PT. Duta Graha Indah
(DGH) sebesar 4,6M, dan dalam persidangan ia di vonis 4 tahun 10 bulan denda
200 juta, subsider, empat bulan penjara.
Sementara
itu uang suap yang dicurigai telah diterimanya adalah sebesar 4,6M. Katakanlah
4,6M ini dikurang biaya denda yang wajib dikeluarkan MN maka sisa uang yang
masih dimiliki MN berkisar 4,4M. Uang sebesar ini masih harus dikurang lagi
biaya yang dikeluarkannya untuk menyewa pengacara atau berobat, maka kita
bulatkan saja sisa uang yang ada ditangannya MN masih berkisar 4M, dengan sejumlah
uang sebesar ini MN masih terbilang sebagai orang kaya, apalagi jika uang itu
dikalkulasikan dengan harta dari hasil diluar korupsi.
Dengan
demikian MN dan para pelaku korupsi yang telah divonis setelah keluar dari
penjara tetap memiliki masa depan yang cerah. Lalu kalau para koruptor dan ia
pernah dipenjara kemudian keluar dan kembali ke masyarakat tanpa ada kehilangan
yang berarti dari sisi ekonomi dan prestisenya, tentu realita ini jauh dari
harapan untuk memberikan pelajaran kepada orang-orang yang belum pernah
melakukan korupsi, namun memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi, atau
sudah pernah korupsi, atau bahkan sudah sering korupsi, namun belum pernah
ketahuan dan tertangkap .
Dengan
kata lain hukuman untuk para koruptor tidak memberikan efek jera, tidak
memberikan shock therapy kepada orang lain. Inilah potret buram pemberantasan
korupsi di Indonesia, dimana vonis akhir kepada pelaku korupsi tidak memenuhi
harapan publik dan selalu mengecewakan.
hay bosku anda bingung mencari bandar togel
BalasHapusyuk bergabung bersama kami di togel pelangi
togel terbaik dan terpecaya 100% aman
http://www.togelpelangi.com/