Sabtu, 05 Desember 2015

POTRET BURAMNYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

POTRET BURAMNYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Tanggal 20 April 2012 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 4 tahun sepuluh bulan penjara, denda 200 juta, subsider empat bulan kurungan penjara, kepada terdakwa kasus korupsi wisma atlit SEA GAMES 2011 Muhammad Nazaruddin.
Vonis yang dijatuhkan kepada MN, sebagaimana yang santer disuarakan para penggiat anti korupsi merupakan vonis yang mengikuti vonis-vonis sebelumnya yang dijatuhkan kepada para terdakwa kasus korupsi. Dengan kata lain vonis yang dijatuhkan hakim kepada MN hanya mengikuti jejak hakim lain yang terlebih dahulu telah menjatuhkan vonis kepada pelaku korupsi.
Vonis yang dijatuhkan kepada kebanyakan para pelaku kasus korupsi di Indonesia terbilang ringan jika dibandingkan dengan akibat perbuatannya. Korupsi sudah jelas berakibat buruk terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bila dilihat dari sisi agama, sangat jelas, tidak ada agama yang membenarkan perbuatan tersebut. Dari sisi kehidupan bernegara, korupsi sangat merugikan rakyat secara masif.. Kemudian kebijakan-kebijakan yang diambil, atau produk-produk perundang-undangan yang dihasilkan hanya menguntungkan elit politik, elit ekonomi, elit birokrasi. Kemudian korupsi juga menghambat akses masyarakat mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan, dan birokrasi secara maksimal, korupsi juga berpengaruh terhadap eskalasi tindakan kejahatan, hal itu karena korupsi yan terjadi di bidang hukum menyebabkan lemahnya penegakan hukum.
Muara dari semua ini adalah sirnanya harapan menuju cita-cita kehidupan masyarakat yang adil dan makmur, sejarah juga telah membuktikan negara yang telah dikuasai oleh koruptor maka negara tersebut sedang menuju kehancuran. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi. (B. Simanjuntak, S.H., 1981: 310).
Bahwa kasus korupsi itu merupakan kasus besar, sehingga dalam penyelesaiannya membutuhkan waktu dan proses penyelidikan secara mendalam. Berbelit-belit dan rumitnya pengungkapkan kasus korupsi yang melibatkan elit politik, elit birokrasi bukan hanya karena kasus itu merupakan kasus yang rumit, faktor pelaku korupsi itu juga merupakan kendala dalam pengungkapan kasus ini, usaha pelarian diri seperti yang dilakukan MN, Nunun Nurbaeti, perlawanan secara hukum maupun politis, alasan berobat, merupakan hal-hal yang jamak kita lihat, yang menyebabkan lamban dan sulitnya pengungkapan kasus korupsi di Indonesia.
Lihatlah bagaimana besarnya energi negara yang terkuras ketika harus memproses MN secara hukum. Negara dibuat cukup repot karena ulahnya yang melarikan diri. Lalu setelah MN tertangkap dan diproses secara hukum dengan serta merta ia mendapatkan perlindungan hukum dari para pengacara yang dengan kemampuan, dan pengalamannya dapat mematahkan tuduhan, pasal, yang menjerat tersangka korupsi, meski tidak serta merta membebaskan para pelaku korupsi namun pembelaan itu telah mempengaruhi vonis hakim. Sehingga vonis hakim jadi lebih ringan.
Ironisme pemberantasan korupsi di Indonesia, khususnya dalam kasus MN dapat kita lihat dari rendahnya tuntutan jaksa, dimana jaksa yang menangani kasus ini menuntut MN tujuh tahun penjara, padahal jaksa menilai MN terbukti melanggar pasal 12 UU Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), dan substansi dalam pasal tersebut memungkinkan seorang pelaku korupsi dijatuhi hukuman maksimal yaitu hukuman mati, atau penjara maksimal selama 20 tahun, berikut bunyi pasal 12 dengan tidak menyertakan uraian dari huruf a-i: dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000. 000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000. 000.000,00 (satu miliar rupiah). Begitu juga dengan vonis yang dijatuhkan hakim. Justru vonis yang dijatuhkan hakim jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa.
Hakim sendiri menilai bahwa MN melanggar pasal 11, padahal hukuman maksimal yang tertera dalam pasal tersebut adalah lima tahun penjara, dan denda maksimal 250 juta, namun hakim tidak menjatuhkan vonis maksimal karena ternyata MN divonis jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa dan lebih ringan dari tuntutan maksimal yang ada di dalam pasal 11, berikut bunyi pasal 11: dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000. 000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Tidak Membuat Jera
Vonis untuk MN yang begitu ringan, dan tak sebanding dengan kesalahan dan kerugian yang disebabkannya merupakan anti klimaks atau potret buram pemberantasan korupsi di Indonesia karena meski para pelaku tindak pidana korupsi menjalani hukuman dan membayar denda, namun tetap saja itu tidak cukup membuat mereka jera.
Karena meski mereka telah menjalani hukuman itu, dipastikan tak ada yang berkurang dari mereka, lihat saja bagaimana ketika mereka sedang menjalani hukuman di penjara, ada pembedaan yang sangat kentara antara mereka dengan tahanan biasa, karena mereka dengan kekayaan yang ada, baik karena hasil asli mata pencarian mereka maupun kekayaan yang didapat dari sisa hasil korupsi setelah dipotong denda, dan biaya menyewa para pengacara kondang, mereka tetap bisa mendapatkan fasilitas yang berbeda.
Dan nanti setelah mereka keluar, mereka masih tetap dapat hidup sejahtera secara ekonomi. Dalam kasus MN misalnya; dapat kita asumsikan berapa kekayaan MN (sisa uang hasil korupsinya). MN di dakwa menerima suap dari PT. Duta Graha Indah (DGH) sebesar 4,6M, dan dalam persidangan ia di vonis 4 tahun 10 bulan denda 200 juta, subsider, empat bulan penjara.
Sementara itu uang suap yang dicurigai telah diterimanya adalah sebesar 4,6M. Katakanlah 4,6M ini dikurang biaya denda yang wajib dikeluarkan MN maka sisa uang yang masih dimiliki MN berkisar 4,4M. Uang sebesar ini masih harus dikurang lagi biaya yang dikeluarkannya untuk menyewa pengacara atau berobat, maka kita bulatkan saja sisa uang yang ada ditangannya MN masih berkisar 4M, dengan sejumlah uang sebesar ini MN masih terbilang sebagai orang kaya, apalagi jika uang itu dikalkulasikan dengan harta dari hasil diluar korupsi.
Dengan demikian MN dan para pelaku korupsi yang telah divonis setelah keluar dari penjara tetap memiliki masa depan yang cerah. Lalu kalau para koruptor dan ia pernah dipenjara kemudian keluar dan kembali ke masyarakat tanpa ada kehilangan yang berarti dari sisi ekonomi dan prestisenya, tentu realita ini jauh dari harapan untuk memberikan pelajaran kepada orang-orang yang belum pernah melakukan korupsi, namun memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi, atau sudah pernah korupsi, atau bahkan sudah sering korupsi, namun belum pernah ketahuan dan tertangkap .

Dengan kata lain hukuman untuk para koruptor tidak memberikan efek jera, tidak memberikan shock therapy kepada orang lain. Inilah potret buram pemberantasan korupsi di Indonesia, dimana vonis akhir kepada pelaku korupsi tidak memenuhi harapan publik dan selalu mengecewakan.

1 komentar:

  1. hay bosku anda bingung mencari bandar togel
    yuk bergabung bersama kami di togel pelangi
    togel terbaik dan terpecaya 100% aman
    http://www.togelpelangi.com/

    BalasHapus