Kamis, 17 Desember 2015

IMAN DAN IBADAH SEBAGAI SATU KESATUAN YANG UTUH

IMAN DAN IBADAH SEBAGAI SATU KESATUAN YANG UTUH

Sebuah buah yang berasal dari pohon dan pemilik yang baik pastilah akan terasa manis tanpa kata cela. Sementara apabila sebuah buah berasal dari pohon yang bukan pilihan dan pemilik yang tak dapat merawatnya dengan baik pasti buah tersebut kemungkinan memiliki peluang asam lebih besar. Seperti itulah sebuah akhlak yang terlihat oleh manusia di dunia ini. Apabila iman dari seseorang tersebut beserta ibadah yang dilakukan baik pastilah akhlak orang tersebut akan menjadi baik. Dia akan menjauhkan dirinya dari perbuatan yang keji dan munkar. Ketiga hal tersebut, yakni iman, ibadah akhlak adalah sebuah satu kesatuam untuh yang tak dapat dipisahkan. Ketiganya saling berhubungan antara satu dengan yang lain, saling berkesinambungan dan berkesimpungan.
Dalam mempelajari hubungan antara iman, ibadah dan akhlak, maka perlu terlebih dahulu untuk mengetahui minimal gambaran sepintas mengenai makna dari ketiganya. Iman secara harfiah adalah yakin. Sedangkan secara istilah, iman adalah mengetahui dan meyakini akan keesaan Tuhan, mempercayai adanya malaikat, mengimani adanya kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah, iman kepada para Rasul, iman kepada hari akhir dan iman kepada qada dan qadar. Ibadah secara harifah adalah perendahan diri, patuh, taat, tunduk, menyembah dan perhambakan diri kepada sesuatu. Dan apabila dilihat secara istilah, ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (dhohir) ataupun deri segi agama, ibadat berarti tindakan menurut dan mengikat diri dengan sepenuhnya kepada segala perkara-perkara yang disyariatkan oleh Allah dan diseru oleh para Rasul, sama ada ia berbentuk suruhan atau larangan. Sementara akhlak apabila dilihat dari segi harfiah bermakna perangai, tingkah laku atau tabiat. Secara istilah, yakni sikap dan perilaku manusia dalam menjalani kehidupan. Dari ketiga ulasan makna tersebut maka secara sepintas kita dapat menangkap bahwa dari sebuah iman maka kita akan beribadah dan kita akan memiliki akhlak yang baik pula. Jika kita beriman maka kita beribadah dengan baik, jika kita beriman pula maka akhlak yang akan tercermin baik pula, dan jika ibadah baik maka akhlak manusia tersebut juga baik. Sehingga ketiganya memang saling berhubungan satu sama lainnya.
Ibadah terdiri dari berbagai bentuk, sehingga manusia merasa tidak bosan dalam menunaikan ibadahnya. Peningkatan ibadah pun berbeda-beda atau beraneka ragam sesuai dengan perangai, kecenderungan dan minat manusia itu sendiri. Ibadah di dalam Islam merangkumi segala kegiatan manusia dari segi rohaniah dan jasmaniah. Tiap-tiap seorang muslim boleh mencampurkan urusan dunia dan akhirat, inilah kombinasi yang indah di dalam Islam yang tidak terdapat dilainnya. Ibadah sebagai wujud dari keimanan seseorang. Seperti yang sebelumnya kita bahas bahwasanya iman berhubungan dengan keyakinan. Seperti halnya firman Allah SWT:
Yang artinya, “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah kepada Ku” (Az-Zariyat: 56). Kita dapat menyimpulkan, bahwa ketika dia telah beriman pada Allah maka dia akan beribadah. Yakin pada Allah bahwasanya Allah itu ada, melakukan semua yang Dia perintahkan dan menjauhi semua larangan-larangannya. Lantas maksud iman sesungguhnya itu bagaiman. Iman itu berarti attashdiiq yaitu membenarkan dan meyakini. Berarti membenarkan dan meyakini ajaran islam dalam hati, serta membenarkan dengan lisan dan juga mengamalkan dalam perbuatan. Sementara iman pada Rosulullah juga demikian. Sebagai contoh wujud keimanan kita adalah ketika kita menunaikan ibadah haji ke tanah suci yang diperintahkan kepada orang-orang yang mampu, itu merupakan pelengkap ibadah dari rukun Islam kelima. Kewajiban ini wajib ditunaikan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan hati, sebagai perwujudan iman dan taqwanya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Apabila kita lihat dari sisi kehidupan nyata kita, iman dan akhlak memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Ibaratkanlah iman dan akhlak adalah satu paket. Maka apabila derajat keimanannya tinggi, pasti akhlaqul karimah lah yang akan terlihat. Akhlak itu adalah barometer atau tolak ukur derajat keimanan seseorang ataupun kualitas keimanan seseorang. Seseorang yang memiliki perangai dan akhlak buruk maka itu pertanda buruknya keimanan dan keislaman dalam dirinya. Orang yang imannya tidak bersemayam lekat dalam jiwanya maka orang tersebut akan sulit untuk menjaga kebaikan akhlaknya pula. Sehingga untuk merubah atau menghilangkan akhlak dan perilaku yang tercela perlu dibenahi juga sisi keimanan dan keislaman dalam jiwa. Karena perilaku dan akhlak merupakan ekspresi dan sesuatu yang lahir dari apa yang ada dalam jiwa dan hati. Sosok iman seperti energi yang mendorong seseorang berakhlak baik, menghiasi dirinya dengan amal saleh dan menjaganya dari perkara yang tidak terpuji, bagitu pula hawa nafsu bisa mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan sebaliknya ataupun suatu kekuatan yang membuat manusia jauh dari atribut rendah dan bertindak tidak terkendali, dan mendorong dia untuk mencapai atribut yang tinggi dan akhlak yang bersih. Maka, jika keimanan mendominasi hati dan jiwa seseorang, sehingga ia mengalahkan dorongan hawa nafsu maka buah yang lahir darinya adalah akhlak dan perbuatan yang baik. Orang yang memiliki religiusitas itu tidak memikirkan diri sendiri justru memberikan diri untuk keselamatan orang lain. Iman harus menghasilkan buah kebaikan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Intinya beragama secara benar adalah bila kita mampu mengendalikan organ tubuh kita sendiri untuk tidak memuaskan diri sendiri. Namun sebaliknya, jika hawa nafsu mendominasi dan mengalahkan keimanan, maka ia akan melahirkan perbuatan dan akhlak tercela. Iman tidak akan sempurna tanpa akhlak. Karena seperti yang dikatakan oleh Rosulullah bahwa akhlak dan iman Rosulullah telah menjelaskan dengan baik bahwa bila iman kokoh dan keyakinan kuat, maka akhlak yang kuat dan tahan lama akan terbangun, dan jika karakter akhlak rendah, maka iman akan ikut menjadi lemah. Akhlak memiliki sisi yang mempengaruhi penilaian seseorang dimata Allah sesuai dengan hadist, Rosulullah bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada wajah dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kalian” (HR. Muslim), “Tidak ada perkara yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin pada hari Kiamat nanti dari akhlak yang baik” (HR. Tirmidzi), “Sesungguhnya diantara orang yang paling aku cintai dan paling dekat tempatnya di Hari Kiamat nanti adalah orang yang paling baik akhlaknya. Akhlak yang baik mampu mengangkat dan memuliakan derajat seorang Muslim. Sesungguhnya seorang Mukmin bisa meraih derajat ahli puasa dan qiyamullail dengan akhlak yang baik” (HR. Abu Dawud dan Hakim). Betapa tidak akhlak mewakili eksterior (tampilan luar) seorang muslim, yang pada selanjutnya mempengaruhi kondisi dan nasibnya kemudian di akhirat. Tidak sebatas ini, bahkan akhlak mempengaruhi jatuh bangunnya sebuah komunitas, bahkan umat. Sebagaimana syair yang dilantunkan oleh penyair ternama Syauqi, “Satu Umat dipengaruhi dengan akhlaknya, jika akhlak (mulia) pudar maka Umat itu juga akan punah”. Dalam berbagai ayat Allah SWT mengawali perintah untuk berakhlak baik dengan panggilan keimanan. Ketika memerintah untuk berlaku adil, Allah SWT menyeru dengan seruan keimanan: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Al-Maidah: 8). Dalam ayat lain disebutkan: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (At Taubah: 119). Dan secara tegas Rasulullah Saw menjelaskan tentang kemestian akhlak baik sebagai tanda keimanan seseorang. Begitu sebaliknya, siapa yang berakhlak dan prilaku buruk pertanda tidak ada iman seseorang: “Demi Allah tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman! Ditanya: Siapa itu wahai Rasul? Orang yang tidak menjadikan tetangganya merasa aman akibat perilaku buruknya”. (HR. Bukhari) “Rasulullah bukanlah seorang yang keji dan tidak suka berkata keji, beliau bukan seorang yang suka berteriak-teriak di pasar dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan sebaliknya, beliau suka memaafkan dan merelakan”. (HR. Ahmad)Nabi saw bersadba, “Aku menjamin sebuah rumah di surga yang paling tinggi bagi orang-orang yang berakhlak baik”. (HR. Abu Dawud). Begitu pula jika ditinjau dari rukun iman. Iman kepada Allah dengan mengetahui dan meyakini akan keesaan Allah dengan mempercayai bahwa Allah memiliki sifat-sifat ynag mulia. Untuk itu manusia hendaknya meniru sifat-sifat Tuhan itu, yakni Allah SWT, misalnya bersifat Al-Rahman dan Al-Rahim (Maha pengasih dan Maha Penyayang), maka sebaiknya manusia meniru sifat tersebut dengan mengembangkan sikap kasih sayang di muka bumi. Demikian juga jika Allah bersifat dengan Asma’ul Husna itu harus dipraktekkan dalam kehidupan. Dengan cara demikian iman kepada Allah akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang mulia. Jika seseorang beriman kepada para malaikat, maka yang dimaksudkan antara lain adalah agar manusia mencontoh sifat-sifat yang terdapat pada malaikat, seperti sifat jujur, amanah, tidak pernah durhaka dan patuh melaksanakan segala yang diperintahkan Tuhan. Hal ini juga dimaksudkan agar manusia merasa diperhatikan dan diawasi oleh para malaikat, sehingga ia tidak berani melanggar larangan Tuhan. Ketika kita beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Tuhan , khususnya Al-Qur’an, maka dengan mengikuti segala perintah yang ada dalam Al-Qur’an dan menjauhi apa yang dilarangnya. Dengan kata lain beriman kepada kitab-kitab, khususnya Al-Qur’an harus disertai dengan berakhlak dengan akhlak Al-Qur’an seperti halnya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya beriman kepada para rasul, khususnya kepada Nabi Muhammad SAW. juga harus disertai upaya mencontoh akhlak Rasulullah di dalam Al-Qur’an dinyatakan oleh Allah bahwa nabi Muhammad SAW itu berakhlak mulia seuai dengan,(                ( وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (٤) Yang artinya, “seseungguhnya engkau Muhammad benar-benar berbudi pekerti mulia” (Q. S. Al-Qalam: 4). Demikian pula beriman kepada hari akhir, dari sisi akhlaki harus disertai dengan upaya menyadari bahwa segala amal perbuatan yang dilkaukan selama di dunia ini akan dimintakan pertanggung jawabannya di akhirat nanti. Amal perbuatan manusia selama di dunia akan ditimbang dan dihitung serta diputuskan dengan seadilnya. Mereka yang amalnya lebih banyak yang buruk dan ingkar kepada Tuhan akan dimasukkan ke dalam neraka, sedangkan mereka yang amalnya lebih banyak yang biak akan dimasukkan ke dalam syurga. Hal tersebut diharapkan dapat memotivasi seseorang agar selama hidupnya di dunia ini banyak melakukan amal yang baik, menjauhi perbuatan dosa dan ingkar kepada Allah. Selanjutnya beriman kepada qada dan qadar juga erat kaitannya dengan akhlak, yaitu agar orang yang percaya kepada qada dan qadar itu seanantiasa mau bersyukur terhadap keputusan Tuhan dan rela menerima segala keputusan-Nya. Perbuatan demikian termasuk ke dalam akhlak yang mulia. Dengan demikian, ibadah dan akhlak merupakan pasangan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Ibadah dan akhlak laksana pohon dengan buahnya.
Konsep ibadah dalam Islam adalah amat luas dan menyeluruh, merangkumi tingkah laku dan amalan manusia seluruhnya yang dikerjakan menurut ajaran Islam. Ibadah mempunyai kaitan yang rapat dengan akhlak. Melakukan ibadah yang betul akan melahirkan kelakuan yang baik dan berakhlak mulia. Nilai akhlak berpuncak daripada agama ditetapkan oleh al qur’an dan al sunnah. Segala aktivitas dan amalan manusia dan tugas-tugasnya sehari-hari tergolong dalam istilah ibadah jika ia dilaksana dengan ikhlas dan jujur. Semua pekerjaan kita boleh menjadi ibadah jika dilakukan mengikut cara-cara yang telah ditetapkan oleh Islam. Itu harus berisi perhubungan dua hal, yaitu perhubungan kita dengan Allah (hablumminallah) dan perhubungan kita sesama manusia (hablumminnanas). Diantara syarat-syarat tersebut adalah, pertama, amalan yang dikerjakan itu hendaklah diakui Islam, yaitu sesuai dengan hukum-hukum syariat dan tidak bercanggah dengan hukum-hukum tersebut. Kedua, amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat yang baik dan diridhoi Allah. Sebagai seorang muslim amalan tersebut mestilah untuk memelihara kehormatan dirinya, menyenangkan keluarganya, memberi manfaat kepada umatnya dan dapat memakmurkan bumi Allah sebagaimana yang dianjurkan oleh Allah SWT. Ketiga, amalan-amalan itu hendaklah dibuat dengan seelok-eloknya bagi menepati kehendak-kehendak hadis Nabi SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim yang berarti, “Sesungguhnya Allah mewajibkan kebaikan pada tiap-tiap sesuatu. Keempat, ”Ketika membuat kerja-kerja hendaklah sentiasa menurut hukum-hukum syariat dan batasnya, tidak menzalimi orang, tidak khianat, tidak menipu dan tidak menindas atau merampas hak orang. Kelima, dalam mengerjakan amalan-amalan dunia itu tidak lalai dan tidak cuai dari menjalankan kewajipan ibadat yang khusus seperti solat, puasa dan sebagainya sesuai dengan firman Allah SWT :

Yang artinya, “(Ibadah itu dikerjakan oleh) orang-orang yang kuat imannya yang tidak dilalaikan oleh perniagaan atau berjualbeli daripada menyebut serta mengingati Allah dan mendirikan sembahyang serta memberi zakat. Mereka takutkan hari (kiamat) yang padanya berbalik-balik hati dan pandangan.”(An-Nuur : 37). Jadi bila saja seorang mukmin dapat menyempurnakan kelima syarat di atas dalam mengendalikan segala pekerjaan dan urusan hidupnya setiap hari dia adalah dikira sentiasa beribadah kepada Allah meskipun dia tidak duduk di masjid-masjid atau di surau-surau ketika membuat kerja-kerja tersebut. Untuk mengetahui hubungan ibadah dengan akhlak secara mudah kita dapat melihat dari ibadah-ibadah yang sering kita kerjakan. Sesuai firman Allah SWT. yang artinya “Sesungguhnya mengerjakan (ibadah) salat itu akan dapat mencegah seseorang dari melakukan kejahatan dan kemunkaran” (Q.S Al-Ankabut: 45). Dari sini kita akan tahu bahwasanya orang yang melaksanakan shalat akan menjauhi diri dari perbuatan jahat dan munkar apabila dilakukan dengan baik dan benar yang disertai dengan penuh keimanan kepada Allah SWT. Ibadah-ibadah yang disyariatkan sebagai sarana untuk mengkondisikan hati dan meningkatkan keimanan, bisa diukur baik atau tidaknya pelaksanaan ibadah tersebut, diterima atau tidaknya ibadah tersebut dari sisi akhlak dan perilaku. Rasulullah bersabda, “Siapa yang shalatnya tidak bisa mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, maka ia hanya bertambah jauh dari Allah.” Jadi, ibadah shalat yang baik adalah ketika ia mampu mewarnai perilaku dan perbuatan kita, baik perbuatan yang hanya berdampak pada diri sendiri maupun orang lain atau sosial. Shalat yang mampu mengkondisikan jiwa dan keimanan seseorang bisa dinilai dari perbuatan dan akhlaknya. Begitu pula tentang ibadah puasa. Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah SWT. tidak berkepentingan atas puasanya dari makanan dan minuman” (HR. Tirmidzi). Sedangkan membahas tentang ibadah zakat pada hakikatnya bukan merupakan pajak yang diambil dari kantong, tetapi merupakan pembinaan, menanamkan rasa kasih sayang yang tulus dan mendekatkan hubungan ukhuwwah yang baik di antara lapisan masyarakat. Selain itu juga membantu menghilangkan sikap dengki dan permusuhan dari dada kalangan fakir miskin terhadap saudara-saudara mereka yang berpunya. Hal ini lebih berlanjut berimplikasi pada minimnya kasus tindak pencurian dan berbagai jenis tindak kriminal lain yang meresahkan masyarakat.


1 komentar:

  1. hay bosku anda bingung mencari bandar togel
    yuk bergabung bersama kami di togel pelangi
    togel terbaik dan terpecaya 100% aman
    http://www.togelpelangi.com/

    BalasHapus