IMAN DAN IBADAH SEBAGAI SATU KESATUAN YANG
UTUH
Sebuah buah yang
berasal dari pohon dan pemilik yang baik pastilah akan terasa manis tanpa kata
cela. Sementara apabila sebuah buah berasal dari pohon yang bukan pilihan dan
pemilik yang tak dapat merawatnya dengan baik pasti buah tersebut kemungkinan
memiliki peluang asam lebih besar. Seperti itulah sebuah akhlak yang terlihat
oleh manusia di dunia ini. Apabila iman dari seseorang tersebut beserta ibadah
yang dilakukan baik pastilah akhlak orang tersebut akan menjadi baik. Dia akan
menjauhkan dirinya dari perbuatan yang keji dan munkar. Ketiga hal tersebut,
yakni iman, ibadah akhlak adalah sebuah satu kesatuam untuh yang tak dapat
dipisahkan. Ketiganya saling berhubungan antara satu dengan yang lain, saling
berkesinambungan dan berkesimpungan.
Dalam
mempelajari hubungan antara iman, ibadah dan akhlak, maka perlu terlebih dahulu
untuk mengetahui minimal gambaran sepintas mengenai makna dari ketiganya. Iman
secara harfiah adalah yakin. Sedangkan secara istilah, iman adalah mengetahui
dan meyakini akan keesaan Tuhan, mempercayai adanya malaikat, mengimani adanya
kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah, iman kepada para Rasul, iman kepada
hari akhir dan iman kepada qada dan qadar. Ibadah secara harifah adalah
perendahan diri, patuh, taat, tunduk, menyembah dan perhambakan diri kepada
sesuatu. Dan apabila dilihat secara istilah, ibadah adalah suatu istilah yang
mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa
perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak
(dhohir) ataupun deri segi agama, ibadat berarti tindakan menurut dan mengikat
diri dengan sepenuhnya kepada segala perkara-perkara yang disyariatkan oleh
Allah dan diseru oleh para Rasul, sama ada ia berbentuk suruhan atau larangan.
Sementara akhlak apabila dilihat dari segi harfiah bermakna perangai, tingkah
laku atau tabiat. Secara istilah, yakni sikap dan perilaku manusia dalam
menjalani kehidupan. Dari ketiga ulasan makna tersebut maka secara sepintas kita
dapat menangkap bahwa dari sebuah iman maka kita akan beribadah dan kita akan
memiliki akhlak yang baik pula. Jika kita beriman maka kita beribadah dengan
baik, jika kita beriman pula maka akhlak yang akan tercermin baik pula, dan
jika ibadah baik maka akhlak manusia tersebut juga baik. Sehingga ketiganya
memang saling berhubungan satu sama lainnya.
Ibadah terdiri
dari berbagai bentuk, sehingga manusia merasa tidak bosan dalam menunaikan
ibadahnya. Peningkatan ibadah pun berbeda-beda atau beraneka ragam sesuai
dengan perangai, kecenderungan dan minat manusia itu sendiri. Ibadah di dalam
Islam merangkumi segala kegiatan manusia dari segi rohaniah dan jasmaniah.
Tiap-tiap seorang muslim boleh mencampurkan urusan dunia dan akhirat, inilah
kombinasi yang indah di dalam Islam yang tidak terdapat dilainnya. Ibadah
sebagai wujud dari keimanan seseorang. Seperti yang sebelumnya kita bahas
bahwasanya iman berhubungan dengan keyakinan. Seperti halnya firman Allah SWT:
Yang artinya,
“Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah kepada Ku”
(Az-Zariyat: 56). Kita dapat menyimpulkan, bahwa ketika dia telah beriman pada
Allah maka dia akan beribadah. Yakin pada Allah bahwasanya Allah itu ada,
melakukan semua yang Dia perintahkan dan menjauhi semua larangan-larangannya.
Lantas maksud iman sesungguhnya itu bagaiman. Iman itu berarti attashdiiq yaitu
membenarkan dan meyakini. Berarti membenarkan dan meyakini ajaran islam dalam
hati, serta membenarkan dengan lisan dan juga mengamalkan dalam perbuatan. Sementara
iman pada Rosulullah juga demikian. Sebagai contoh wujud keimanan kita adalah
ketika kita menunaikan ibadah haji ke tanah suci yang diperintahkan kepada
orang-orang yang mampu, itu merupakan pelengkap ibadah dari rukun Islam kelima.
Kewajiban ini wajib ditunaikan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan hati,
sebagai perwujudan iman dan taqwanya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Apabila kita
lihat dari sisi kehidupan nyata kita, iman dan akhlak memiliki hubungan yang
sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Ibaratkanlah iman dan akhlak adalah satu
paket. Maka apabila derajat keimanannya tinggi, pasti akhlaqul karimah lah yang
akan terlihat. Akhlak itu adalah barometer atau tolak ukur derajat keimanan
seseorang ataupun kualitas keimanan seseorang. Seseorang yang memiliki perangai
dan akhlak buruk maka itu pertanda buruknya keimanan dan keislaman dalam
dirinya. Orang yang imannya tidak bersemayam lekat dalam jiwanya maka orang
tersebut akan sulit untuk menjaga kebaikan akhlaknya pula. Sehingga untuk
merubah atau menghilangkan akhlak dan perilaku yang tercela perlu dibenahi juga
sisi keimanan dan keislaman dalam jiwa. Karena perilaku dan akhlak merupakan
ekspresi dan sesuatu yang lahir dari apa yang ada dalam jiwa dan hati. Sosok
iman seperti energi yang mendorong seseorang berakhlak baik, menghiasi dirinya
dengan amal saleh dan menjaganya dari perkara yang tidak terpuji, bagitu pula
hawa nafsu bisa mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan sebaliknya
ataupun suatu kekuatan yang membuat manusia jauh dari atribut rendah dan
bertindak tidak terkendali, dan mendorong dia untuk mencapai atribut yang
tinggi dan akhlak yang bersih. Maka, jika keimanan mendominasi hati dan jiwa
seseorang, sehingga ia mengalahkan dorongan hawa nafsu maka buah yang lahir
darinya adalah akhlak dan perbuatan yang baik. Orang yang memiliki religiusitas
itu tidak memikirkan diri sendiri justru memberikan diri untuk keselamatan
orang lain. Iman harus menghasilkan buah kebaikan, perdamaian, keadilan, dan
kesejahteraan. Intinya beragama secara benar adalah bila kita mampu
mengendalikan organ tubuh kita sendiri untuk tidak memuaskan diri sendiri.
Namun sebaliknya, jika hawa nafsu mendominasi dan mengalahkan keimanan, maka ia
akan melahirkan perbuatan dan akhlak tercela. Iman tidak akan sempurna tanpa
akhlak. Karena seperti yang dikatakan oleh Rosulullah bahwa akhlak dan iman
Rosulullah telah menjelaskan dengan baik bahwa bila iman kokoh dan keyakinan
kuat, maka akhlak yang kuat dan tahan lama akan terbangun, dan jika karakter
akhlak rendah, maka iman akan ikut menjadi lemah. Akhlak memiliki sisi yang
mempengaruhi penilaian seseorang dimata Allah sesuai dengan hadist, Rosulullah
bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada wajah dan harta kalian,
tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kalian” (HR. Muslim), “Tidak ada
perkara yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin pada hari Kiamat nanti
dari akhlak yang baik” (HR. Tirmidzi), “Sesungguhnya diantara orang yang paling
aku cintai dan paling dekat tempatnya di Hari Kiamat nanti adalah orang yang
paling baik akhlaknya. Akhlak yang baik mampu mengangkat dan memuliakan derajat
seorang Muslim. Sesungguhnya seorang Mukmin bisa meraih derajat ahli puasa dan
qiyamullail dengan akhlak yang baik” (HR. Abu Dawud dan Hakim). Betapa tidak
akhlak mewakili eksterior (tampilan luar) seorang muslim, yang pada selanjutnya
mempengaruhi kondisi dan nasibnya kemudian di akhirat. Tidak sebatas ini,
bahkan akhlak mempengaruhi jatuh bangunnya sebuah komunitas, bahkan umat.
Sebagaimana syair yang dilantunkan oleh penyair ternama Syauqi, “Satu Umat
dipengaruhi dengan akhlaknya, jika akhlak (mulia) pudar maka Umat itu juga akan
punah”. Dalam berbagai ayat Allah SWT mengawali perintah untuk berakhlak baik
dengan panggilan keimanan. Ketika memerintah untuk berlaku adil, Allah SWT
menyeru dengan seruan keimanan: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu
jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Al-Maidah: 8). Dalam ayat lain disebutkan:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu
bersama orang-orang yang benar. (At Taubah: 119). Dan secara tegas Rasulullah
Saw menjelaskan tentang kemestian akhlak baik sebagai tanda keimanan seseorang.
Begitu sebaliknya, siapa yang berakhlak dan prilaku buruk pertanda tidak ada
iman seseorang: “Demi Allah tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman!
Ditanya: Siapa itu wahai Rasul? Orang yang tidak menjadikan tetangganya merasa
aman akibat perilaku buruknya”. (HR. Bukhari) “Rasulullah bukanlah seorang yang
keji dan tidak suka berkata keji, beliau bukan seorang yang suka
berteriak-teriak di pasar dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan
sebaliknya, beliau suka memaafkan dan merelakan”. (HR. Ahmad)Nabi saw bersadba,
“Aku menjamin sebuah rumah di surga yang paling tinggi bagi orang-orang yang
berakhlak baik”. (HR. Abu Dawud). Begitu pula jika ditinjau dari rukun iman.
Iman kepada Allah dengan mengetahui dan meyakini akan keesaan Allah dengan
mempercayai bahwa Allah memiliki sifat-sifat ynag mulia. Untuk itu manusia
hendaknya meniru sifat-sifat Tuhan itu, yakni Allah SWT, misalnya bersifat
Al-Rahman dan Al-Rahim (Maha pengasih dan Maha Penyayang), maka sebaiknya
manusia meniru sifat tersebut dengan mengembangkan sikap kasih sayang di muka
bumi. Demikian juga jika Allah bersifat dengan Asma’ul Husna itu harus
dipraktekkan dalam kehidupan. Dengan cara demikian iman kepada Allah akan
memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang mulia. Jika seseorang beriman
kepada para malaikat, maka yang dimaksudkan antara lain adalah agar manusia
mencontoh sifat-sifat yang terdapat pada malaikat, seperti sifat jujur, amanah,
tidak pernah durhaka dan patuh melaksanakan segala yang diperintahkan Tuhan.
Hal ini juga dimaksudkan agar manusia merasa diperhatikan dan diawasi oleh para
malaikat, sehingga ia tidak berani melanggar larangan Tuhan. Ketika kita
beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Tuhan , khususnya Al-Qur’an, maka
dengan mengikuti segala perintah yang ada dalam Al-Qur’an dan menjauhi apa yang
dilarangnya. Dengan kata lain beriman kepada kitab-kitab, khususnya Al-Qur’an
harus disertai dengan berakhlak dengan akhlak Al-Qur’an seperti halnya
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya beriman kepada para rasul,
khususnya kepada Nabi Muhammad SAW. juga harus disertai upaya mencontoh akhlak
Rasulullah di dalam Al-Qur’an dinyatakan oleh Allah bahwa nabi Muhammad SAW itu
berakhlak mulia seuai dengan,( (
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (٤) Yang artinya, “seseungguhnya engkau
Muhammad benar-benar berbudi pekerti mulia” (Q. S. Al-Qalam: 4). Demikian pula
beriman kepada hari akhir, dari sisi akhlaki harus disertai dengan upaya
menyadari bahwa segala amal perbuatan yang dilkaukan selama di dunia ini akan
dimintakan pertanggung jawabannya di akhirat nanti. Amal perbuatan manusia
selama di dunia akan ditimbang dan dihitung serta diputuskan dengan seadilnya.
Mereka yang amalnya lebih banyak yang buruk dan ingkar kepada Tuhan akan
dimasukkan ke dalam neraka, sedangkan mereka yang amalnya lebih banyak yang
biak akan dimasukkan ke dalam syurga. Hal tersebut diharapkan dapat memotivasi
seseorang agar selama hidupnya di dunia ini banyak melakukan amal yang baik,
menjauhi perbuatan dosa dan ingkar kepada Allah. Selanjutnya beriman kepada
qada dan qadar juga erat kaitannya dengan akhlak, yaitu agar orang yang percaya
kepada qada dan qadar itu seanantiasa mau bersyukur terhadap keputusan Tuhan
dan rela menerima segala keputusan-Nya. Perbuatan demikian termasuk ke dalam
akhlak yang mulia. Dengan demikian, ibadah dan akhlak merupakan pasangan yang
tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Ibadah dan akhlak laksana pohon
dengan buahnya.
Konsep ibadah
dalam Islam adalah amat luas dan menyeluruh, merangkumi tingkah laku dan amalan
manusia seluruhnya yang dikerjakan menurut ajaran Islam. Ibadah mempunyai
kaitan yang rapat dengan akhlak. Melakukan ibadah yang betul akan melahirkan
kelakuan yang baik dan berakhlak mulia. Nilai akhlak berpuncak daripada agama
ditetapkan oleh al qur’an dan al sunnah. Segala aktivitas dan amalan manusia
dan tugas-tugasnya sehari-hari tergolong dalam istilah ibadah jika ia dilaksana
dengan ikhlas dan jujur. Semua pekerjaan kita boleh menjadi ibadah jika
dilakukan mengikut cara-cara yang telah ditetapkan oleh Islam. Itu harus berisi
perhubungan dua hal, yaitu perhubungan kita dengan Allah (hablumminallah) dan
perhubungan kita sesama manusia (hablumminnanas). Diantara syarat-syarat
tersebut adalah, pertama, amalan yang dikerjakan itu hendaklah diakui Islam,
yaitu sesuai dengan hukum-hukum syariat dan tidak bercanggah dengan hukum-hukum
tersebut. Kedua, amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat yang baik dan
diridhoi Allah. Sebagai seorang muslim amalan tersebut mestilah untuk
memelihara kehormatan dirinya, menyenangkan keluarganya, memberi manfaat kepada
umatnya dan dapat memakmurkan bumi Allah sebagaimana yang dianjurkan oleh Allah
SWT. Ketiga, amalan-amalan itu hendaklah dibuat dengan seelok-eloknya bagi
menepati kehendak-kehendak hadis Nabi SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Muslim yang berarti, “Sesungguhnya Allah mewajibkan kebaikan pada tiap-tiap
sesuatu. Keempat, ”Ketika membuat kerja-kerja hendaklah sentiasa menurut
hukum-hukum syariat dan batasnya, tidak menzalimi orang, tidak khianat, tidak
menipu dan tidak menindas atau merampas hak orang. Kelima, dalam mengerjakan
amalan-amalan dunia itu tidak lalai dan tidak cuai dari menjalankan kewajipan
ibadat yang khusus seperti solat, puasa dan sebagainya sesuai dengan firman
Allah SWT :
Yang artinya,
“(Ibadah itu dikerjakan oleh) orang-orang yang kuat imannya yang tidak
dilalaikan oleh perniagaan atau berjualbeli daripada menyebut serta mengingati
Allah dan mendirikan sembahyang serta memberi zakat. Mereka takutkan hari
(kiamat) yang padanya berbalik-balik hati dan pandangan.”(An-Nuur : 37). Jadi
bila saja seorang mukmin dapat menyempurnakan kelima syarat di atas dalam
mengendalikan segala pekerjaan dan urusan hidupnya setiap hari dia adalah
dikira sentiasa beribadah kepada Allah meskipun dia tidak duduk di
masjid-masjid atau di surau-surau ketika membuat kerja-kerja tersebut. Untuk
mengetahui hubungan ibadah dengan akhlak secara mudah kita dapat melihat dari
ibadah-ibadah yang sering kita kerjakan. Sesuai firman Allah SWT. yang artinya
“Sesungguhnya mengerjakan (ibadah) salat itu akan dapat mencegah seseorang dari
melakukan kejahatan dan kemunkaran” (Q.S Al-Ankabut: 45). Dari sini kita akan
tahu bahwasanya orang yang melaksanakan shalat akan menjauhi diri dari
perbuatan jahat dan munkar apabila dilakukan dengan baik dan benar yang
disertai dengan penuh keimanan kepada Allah SWT. Ibadah-ibadah yang
disyariatkan sebagai sarana untuk mengkondisikan hati dan meningkatkan
keimanan, bisa diukur baik atau tidaknya pelaksanaan ibadah tersebut, diterima
atau tidaknya ibadah tersebut dari sisi akhlak dan perilaku. Rasulullah bersabda,
“Siapa yang shalatnya tidak bisa mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar,
maka ia hanya bertambah jauh dari Allah.” Jadi, ibadah shalat yang baik adalah
ketika ia mampu mewarnai perilaku dan perbuatan kita, baik perbuatan yang hanya
berdampak pada diri sendiri maupun orang lain atau sosial. Shalat yang mampu
mengkondisikan jiwa dan keimanan seseorang bisa dinilai dari perbuatan dan
akhlaknya. Begitu pula tentang ibadah puasa. Rasulullah Saw bersabda, “Siapa
yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah SWT. tidak
berkepentingan atas puasanya dari makanan dan minuman” (HR. Tirmidzi).
Sedangkan membahas tentang ibadah zakat pada hakikatnya bukan merupakan pajak
yang diambil dari kantong, tetapi merupakan pembinaan, menanamkan rasa kasih
sayang yang tulus dan mendekatkan hubungan ukhuwwah yang baik di antara lapisan
masyarakat. Selain itu juga membantu menghilangkan sikap dengki dan permusuhan
dari dada kalangan fakir miskin terhadap saudara-saudara mereka yang berpunya.
Hal ini lebih berlanjut berimplikasi pada minimnya kasus tindak pencurian dan
berbagai jenis tindak kriminal lain yang meresahkan masyarakat.
hay bosku anda bingung mencari bandar togel
BalasHapusyuk bergabung bersama kami di togel pelangi
togel terbaik dan terpecaya 100% aman
http://www.togelpelangi.com/