MENGAPA TIDAK PERCAYA ADANYA TUHAN ????
Pada suatu titik
saya sadar bahwa semua klaaim tentang dunia supranatural ternyata bohong atau
bisa dijelaskan secara ilmiah. Ilmuwan telah puluhan tahun mencari sekedar
bukti keberadaan mahkluk supranatural apapun dan juga kemampuan supranatural
apapun yang menunjukkan mahkluk supranatural itu ada. Klaim-klaim dukun yang
bisa mamanggil roh, santet, ilmu terawang, telepati, dll tidak pernah terbukti
sekedar memiliki kemampuan tersebut hingga detik ini. Segala klaim mengenai
tenaga dalam, aura, claivoyance, pelet, santet, astral projection, dll tidak
pernah terbukti keberadaannya meskipun pencarian telah dilakukan selama puluhan
tahun di banyak negara yang banyak terdapat orang orang yang mengaku-ngaku
memiliki kemampuan tersebut. Pada akhirnya saya sadar bahwa suatu kebohongan
yang berkedok supranatural bisa dipercaya oleh jutaan orang yang tidak mau
berfikir kritis dan ikut saja apa kata buku tua. Dari situlah saya mengkritisi
banyak agama dan pada akhirnya mengkritisi agama saya sendiri. Ketika saya
sadar bahwa segala kepercayaan saya terhadap entitas ghaib selama ini tidak
didukung ooleh sedikitpun bukti dan menyadari bahwa agama hanyalah buatan
manusia untuk mengontrol manusia dan alasan politik, serta banyaknya kejadian
di dunia yang mendukung hal itu, saya tidak lagi percaya pada agama dan
keberadaan/keperdulian Tuhan. Itulah titik dimana saya berfikir bahwa saya akan
menjalani kehidupan yang baik, dengan meninggalkan ritual keagamaan.
Ada berbagai
macam alasan yang membawa seseorang menjadi ateis. Pada awalnya tentu saja
semua orang lahir tidak beragama ataupun menyembah Tuhan tertentu, yang
kemudian menganut agama yang dianut orang tua mereka. Dalam perkembangannya
banyak yang menyadari bahwa kepercayaannya yang dibawa sejak kecil ternyata
tidak memenuhi bukti yang cukup untuk dianggap sebagai fakta, melainkan sebuah
cerita yang terdengar sangat luar biasa sehingga seolah mampu memberikan segala
jawaban mendasar tentang asal usul dan tujuan kehidupan. Para ateis pada
umumnya adalah mereka yang peduli akan kebenaran dan mencarinya dengan
mengedepankan objektifitas, menghindari asumsi, dan menarik kesimpulan yang
paling logis. Dengan demikian mereka mampu menganalisa secara obyektif
bagaimana hingga agama dan imajinasi manusia tentang Tuhan muncul.
Banyak
bagian-bagian dalam ajaran agama yang tidak sreg dalam perasaan saya. Ajaran
agama yang doktriner tidak sejalan dengan pikiran kritis saya. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti ‘dari mana kita’, ‘siapa kita’, ‘ke mana
kita’, ‘apakah baik dan buruk itu’ dan pertanyaan dasar lainnya saya melihat
bahwa filsafat dan sains bisa memberikan penjelasan yang lebih
memadai–sekalipun dengan kerendahan hatinya, sains dan filsafat mengakui bahwa
jawaban yang disediakan sejauh ini tidak sempurna dan mungkin salah. Saya
lebih ‘sreg’ dengan jawaban yang tidak sempurna dan mungkin salah tapi banyak
membantu perikehidupan kita sehari-hari, daripada jawaban yang mengklaim
dirinya sempurna, absolut, dan pasti benar selamanya, namun tidak banyak
berguna sebetulnya bagi perikehidupan sehari-hari, bagi pengembangan
pengetahuan & teknologi, bahkan bagi kita untuk menentukan apa yang baik
dan buruk.
Semua bayi
terlahir tidak percaya Tuhan. Sebagian pada saat tumbuh dewasa diajarkan/diindoktrinasi
dengan ajaran agama (ortu beragama), sebagian lagi tidak (ortu tidak beragama).
Bagi yang sudah diajari agama dan jadi beragama ada sebagian yang kembali tidak
beragama karena berbagai sebab. Sebabnya bisa karena ragu melihat banyaknya
agama berbagai versi, mempelajari sains dan skeptisisme kemudian skeptis
terhadap agama (meragukan agama), atau pengalaman buruk dengan ajaran agama
tertentu, dll. Ateisme bukanlah jalur yang dipilih, ateisme hanyalah
a-teisme, dalam arti keadaan orang yang bukan teis, tidak percaya keberadaan
Tuhan. Tidak lebih dari itu. Karena itu tentu orangnya sendiri bisa punya
bermacam-macam pendapat dan kepercayan. Keberadaan Tuhan hanyalah hipotesa
sementara manusia untuk menjelaskan fenomena yang mereka belum pahami. Ketika
manusia tidak mampu memahami asal usul kehidupan dan alam semesta mereka
berasumsi alam semesta diciptakan Tuhan.
Sama seperti
ketika manusia belum mengerti terbentuknya petir, mereka berasumsi petir
diciptakan dewa bernama Zeus.
Keberadaan Tuhan
sendiri sejauh ini tidak meiliki bukti dan tidak bisa dideteksi keberadaannya
dengan tolok ukur apapun. Ketidakpercayaan ateis tentang keberadaan Tuhan tidak
hanya karena dia tidak bisa dilihat tapi juga karena faktor faktor lain. Tuhan
tidak menjawab doa. Tuhan tidak memiliki signifikansi atas apa yang terjadi di
dunia yang menunjukkan Dia ada. Tuhan bisa saja ada tapi secara jelas tidak
mengintervensi apapun yang terjadi di bumi. Satu dan lain hal secara jelas
menunjukkan bahwa meskipun Dia ada ataupun tidak, Dia tidak perlu disembah.
Ketidakpercayaan
saya akan satu agama (yang teistik, at least) berangkat dari fakta bahwa tidak
ada ide mengenai apapun yang sifatnya purely universal, kecuali hal-hal yang
instinctive seperti keharusan manusia untuk makan-minum, bernapas, bertahan
hidup, dlsb. Semua set nilai moral yang ada bersifat relatif, tergantung pada
masyarakat dan adjustment macam apa yang perlu dilakukan anggota-anggotanya
untuk me-maintenance kehidupan yang seimbang. Demikian juga agama, sebagai seperangkat
sistem kepercayaan, sistem kebudayaan, dengan segala punishment & reward
yang mengatur orang-orang yang hidup dibawah naungan nilai moral yang
ditetapkannya. Seperti yang kita tahu, ada banyak ragam agama dan kepercayaan
yang eksis di dunia ini dengan aturan-aturan yang berbeda dan tidak jarang
saling mengklaim lebih benar dari satu sama lain. Ketidakseragaman tersebut,
bagi saya, berarti agama tidak datang langsung dari Tuhan karena jika ya, Tuhan
pasti punya kuasa untuk menyeragamkan itu. Kalaupun ada yang berbeda,
seharusnya Dia bisa dengan mudahnya ‘mengembalikan ke jalan yang lurus’, so
they say. Belum lagi banyaknya verses pada kitab suci yang dulu saya pelajari
yang multitafsir, atau kasarnya ‘pasal karet’. Tidak sedikit aturan yang bisa saya
kontekstualisasikan sesuka saya. Do you really think that God’s words are
subjected to be challenged by His own creations? I don’t. Jika memang
diturunkan langsung oleh Tuhan, menurut saya seharusnya setiap kalimat, setiap
suruhan, setiap aturan adalah sempurna. Tidak bisa dan tidak perlu dikoreksi
oleh manusia. Masalah satu selesai, dan selama bertahun-tahun agnostic lah saya
meski masih cenderung teis.
Jika memang
Tuhan ada dan se-maha kuasa itu, Dia bisa saja menanamkan ide yang serempak
disetiap individu mengenai diri-Nya sejak individu-individu itu lahir. Semua
orang akan punya ide yang sama tentang Tuhan dan orang-orang yang tidak
percaya, seperti saya, bisa dengan mudah dibuat percaya. Selain itu,
sifat-sifat Tuhan yang saya kenal selama ini terlalu MANUSIAWI (arrogant, gila
hormat, avengeful, among other things) membuktikan sifat-sifat semua itu adalah
dasar manusia–dan membuktikan bahwa Tuhan cuma konsep empiris di otak manusia
alias sekedar imajinasi si manusia itu sendiri. And just that simple isnt it?
hay bosku anda bingung mencari bandar togel
BalasHapusyuk bergabung bersama kami di togel pelangi
togel terbaik dan terpecaya 100% aman
http://www.togelpelangi.com/
Sangat sulit rasanya jika tuhan hanya dibuktikan secara empiris, pada akhirnya kita harus beriman dengan apa yg namanya "Dogma"
BalasHapus