KISAH
PENOLAKAN TENTARA BELANDA BERPERANG MELAWAN INDONESIA
Kemerdekaan
Indonesia yang sudah memasuki usia ke-70 tahun adalah nikmat yang patut
disyukuri bersama. Namun, kisah-kisah zaman perjuangan, adalah memori sejarah
yang tetap patut dikenang.
Termasuk,
sejarah saat agresi militer Belanda II antara tahun 1945-1949 setelah
Perang Dunia II. Salah satu yang bisa terungkap dari agresi Belanda ke
Indonesia adalah latar belakang yang menyertainya, bahwasanya, para tentara
yang dikirim ke Indonesia sebenarnya menolak untuk berperang.
Anak-anak
muda kelahiran 1926 yang dikirim ke Indonesia menjadi tentara sudah melakukan
beragam cara agar tidak ikut perang.
Tapi,
banyak dari mereka yang akhirnya berhenti sekolah karena harus ikut wajib
militer. Tidak jarang yang putus sekolah lalu bersembunyi agar tidak dikirimkan
ke Hindia Belanda. Beberapa di antara mereka melawan dengan mengatakan,
pengiriman tentara ke Hindia Belanda layaknya tentara Nazi yang diterjunkan ke
Indonesia.
Banyak
dari mereka yang akhirnya menganggap diri mereka sebagai “SS Orange” (untuk
mengibaratkan dengan SS Nazi). Kisah ini terungkap dari nukilan buku karya
sejarawan Belanda Hylke Speerstra yang meluncurkan cetakan ketiga bukunya yang
berjudul Op Klompen Door de Dessa. Buku ini merupakan lanjutan dari buku
pertama, Op Klompen Troch de Dessa. Buku dirilis April silam.Dalam buku
tersebut lebih jauh dikisahkan, dari ratusan ribu tentara muda Belanda yang
dikirimkan, banyak yang akhirnya tak pernah kembali dan tak tentu rimbanya.
Pemerintah Belanda pun pernah mengakui bahwa agresi negaranya di masa itu
adalah keputusan yang tidak populer.
Tapi,
ada juga yang bisa kembali ke Tanah Air mereka setelah perang usai. Mereka yang
kembali inilah yang mengisahkan bagaimana mereka hidup di desa-desa di
Indonesia dengan menggunakan bakiak (klompen). Tidak jarang para veteran ini
yang akhirnya mengalami trauma perang. Ada yang kembali dalam keadaan cacat.
Sementara
yang masih memiliki harapan untuk meneruskan pendidikan setelah kembali dari
perang justru kerap mendapat perlakuan tidak adil. Malah tidak sedikit dari
mereka yang diganduli perasaan bersalah karena telah membunuh sejumlah penduduk
Hindia Belanda.
Perasaan-perasaan
inilah yang akhirnya menjadi cerita kelam, menghantui psikologi para veteran.
Mereka merasa selama agresi tersebut perjalanan hidup pribadi mereka telah
benar-benar dikorbankan untuk agenda negara untuk menciptakan negara koloni di
timur dunia.
Banyak
dari mereka menyebutkan bahwa pemerintah Belanda sangat sesat ketika ingin kembali
menjajah. Artinya, saat pemerintah Belanda memutuskan untuk kembali ke
Indonesia dengan membonceng tentara sekutu ketika itu sebenarnya tidak mendapat
dukungan dari warganya.
Saat
itu, pemerintah Belanda mengatakan kepada para prajurit bahwa kedatangan mereka
ke Indonesia adalah sebagai pembebas, bukan penindas. Namun ketika para tentara
muda tiba di Indonesia dengan kapal-kapal perang, mereka baru menyadari bahwa
yang namanya Hindia Belanda begitu luas. Saat itu, Indonesia baru saja berdiri
sebagai negara merdeka.
Para
tentara muda ini akhirnya menyadari bahwa pemerintah Belanda lebih mementingkan
kepentingan komersial daripada memulihkan perdamaian dan ketertiban. Tujuannya
bukanlah sebagai penjaga perdamaian tetapi lebih kepada urusan ekonomi, khususnya
untuk mengambil alih kembali wilayah perkebunan.
Mereka
akhirnya frustrasi, melihat pimpinan tentara melakukan penyiksaan, memukul,
menendang, hingga menyulut puntung rokok ke mulut warga pribumi (Indonesia).
Berbagai tindakan ekstrim dilakukan para pemimpin tentara Belanda.
Bahkan,
ketika ada warga pribumi membunuh tentara Belanda di sebuah desa, maka para
komandan tentara Belanda membalasnya dengan membumihanguskan seluruh desa
tersebut. Tidak jarang mereka menginterogasi warga pribumi yang berujung pada
eksekusi mati.
Ketika
perang usai, tidak jarang dari para tentara yang akhirnya memilih “paket” untuk
memilih Australia dan Selandia Baru sebagai rumah mereka. Alasannya karena
lebih dekat ketimbang harus kembali ke Belanda. Namun, bagi mereka yang memilih
kedua negara tersebut, tidak mendapat jaminan dari pemerintah, Tapi harus
menggunakan biaya sendiri dari gaji mereka sebagai tentara rendahan.
Jika
bukan karena buku karya Speerstra yang disajikan dengan gaya bertutur ini,
masyarakat Belanda mungkin tidak akan pernah tahu sama sekali apa yang terjadi
pada generasi 1926 yang dikirim ke kepulauan besar di ujung dunia itu. Sebagian
dari mereka yang pulang ke Belanda kemudian menjadi orangtua yang tak pernah
berani menceritakan masa muda mereka.
Sebab,
banyak di antara mereka yang terpaksa menerima gaji sebagai tentara karena
pekerjaan “kotor” mereka.
Kengerian
masa lalu seringkali menghampiri para veteran saat mengingat bagaimana mereka
menjadi bagian dari patroli tentara Belanda yang kerap melakukan pembunuhan
tanpa pengadilan di wilayah Jawa dan Sumatera.
hay bosku anda bingung mencari bandar togel
BalasHapusyuk bergabung bersama kami di togel pelangi
togel terbaik dan terpecaya 100% aman
http://www.togelpelangi.com/