Sabtu, 02 Januari 2016

SURGA KECIL DUNIA, TANAH PAPUA

SURGA KECIL DUNIA, TANAH PAPUA
Wisata Raja Ampat adalah tempat wisata di Papua yang telah mendunia. Ketenaran Raja Ampat sebagai salah satu destinasi perjalanan paling menarik telah didokumentasikan dalam film dokumenter yang berjudul “Edis Paradise 3″ dengan pemutaran perdananya di Swiss. Film dokumenter yang dibuat oleh Avant Premiere ini mengangkat keindahan alam bawah laut Raja Ampat di Papua yang disebut sebagai Amazon Lautan Dunia. Julukan ini disandang karena posisi Raja Ampat tersebut berada di pusat segitiga karang dunia. Raja Ampat yang termasuk dalam teritorial Papua Barat ini adalah gugusan pulau dengan 610 pulau yang tersebar, tetapi baru hanya 35 pulau yang ditempati oleh penduduk.
Perlu diketahui bahwa 75% spesies ikan di dunia ini berada di perairan Raja Ampat. Lautan di Raja Ampat adalah ekosistem alam yang masih terjaga kelesetariannya hingga kini. Tingginya nilai strategis alam laut di Papua tersebut menyebabkan wisata Raja Ampat di Papua dilindungi dengan undang-undang RI.
Hal ini untuk mencegah berbagai tindakan pengrusakan ekosistem laut yang semata-mata mengejar keuntungan bisnis. Bukan tanpa alasan! Wisata Raja Ampat telah menjadi fokus wisata dunia pada saat-saat sekarang ini.
Ekosistem bawah laut wisata Raja Ampat
Wisata Raja Ampat di Papua menawarkan sejumlah objek wisata yang sangat diminati oleh para wisatawan mancanegara pada khususnya, yakni diving. Kegiatan diving (penyelaman bawah laut) dan snorkeling di Raja Ampat akan menunjukkan keindahan alam bawah laut Raja Ampat di Papua yang begitu mempesona, dengan berbagai jenis spesies ikan serta terumbu-terumbu karang yang hidup natural. Diving di Raja Ampat akan menunjukkan kepada Anda berbagai aneka spesies ikan yang bahkan belum pernah Anda ketahui sebelumnya. Ingat, 75% spesies ikan dunia berada di Raja Ampat. Pernahkah Anda melihat ikan pari manta? Lebar tubuh ikan pari ini bahkan mencapai 2 m.
Untuk kegiatan diving, baca juga artikel yang mengupas tentang diving Raja Ampat di Pulau Wayag.
Paling sedikit terdapat 1500 spesies ikan, 537 spesies koral, dan 699 hewan tak bertulang belakang yang dapat Anda temukan di alam bawah laut Raja Ampat. Untuk diving, Anda akan ditemani oleh ahlinya dan menggunakan peralatan menyelam yang lengkap. Jika Anda pernah melakukan diving di pantai-pantai lain, maka Anda akan begitu takjub terhadap keindahan bawah laut Raja Ampat Papua. Terumbu karang yang hidup menjadi tempat sumber makanan ribuan spesies ikan dan satwa laut lainnya. Ekosistem yang sangat natural dan demikian mempesona inilah yang membuat Raja Ampat dijuluki sebagai Amazon Lautan Dunia.
Alam bawah laut wisata Raja Ampat
Sebagian orang menyebutkan wisata Raja Ampat di Papua ini adalah surga wisata tersembunyi yang dimiliki oleh Indonesia. Wisata Raja Ampat mungkin dapat dinobatkan sebagai wisata alam bawah laut paling mempesona yang dimiliki oleh Indonesia. Yang dapat menandingi keindahan alam bawah lautnya mungkin hanya wisata Pulau Weh di Sabang, Aceh. Jika tempat wisata Raja Ampat berada di bagian timur Indonesia, maka wisata Pulau Weh Sabang berada di bagian paling barat Indonesia.
Untuk mengetahui Pulau Weh, baca juga artikel yang mengupas tentang wisata Pulau Weh di Sabang Aceh.
Uniknya, kedua tempat wisata dengan kegiatan diving-nya yang termasuk paling menarik di dunia tersebut justru mendapat atensi yang besar dari para wisatawan luar negeri. Ketertarikan warga asing dan jumlah kunjungannya dengan tren yang meningkat waktu demi waktu membuat kedua tempat wisata laut Indonesia ini menjadi begitu terpopuler di kalangan internasional. Justru para penikmat perjalanan dari dalam negeri yang kalah dalam mengunjungi tempat wisata laut tersebut.
Harus diakui, faktor biaya adalah penyebab utama yang membuat kedatangan wisatawan domestik ke tempat wisata Raja Ampat Papua masih tergolong sedikit. Kondisi infrastruktur di Papua yang belum memadai serta besarnya biaya transportasi ke/dari Papua membuat sebuah tempat menarik di Papua ini belum ramai dikunjungi wisatawan Indonesia. Belum lagi tentang biaya akomodasi dan logistik yang harus dikeluarkan selama menikmati wisata di Raja Ampat tersebut.
Berbeda dengan turis asing yang memiliki tingkat pendapatan lebih tinggi daripada warga Indonesia, kondisi keuangan yang lebih baik tersebut memungkinkan mereka untuk menikmati diving sebagai salah satu objek wisata Raja Ampat yang paling populer. Hal demikian juga terlihat di daerah wisata Pulau Weh di Sabang Aceh. Tingkat kedatangan turis mancanegara lebih banyak ketimbang wisatawan domestik.
Apa saja objek wisata Raja Ampat?
Diving dan snorkeling adalah salah satu kegiatan wisata Raja Ampat yang paling terkenal. Namun, Anda harus tahu bahwa tempat wisata di Papua ini juga memiliki  hutan yang lebat, gugusan batu kapur yang berwarna-warni, aneka spesies tumbuhan langka, serta sarang penyu di tepi pantai.
Sebagian wisatawan akan berselancar di Raja Ampat karena tempat wisata ini memiliki ombak laut yang cukup menantang. Beberapa pulau di Raja Ampat yang paling sering dikunjungi adalah Pulau Wayag, Pulau Waiwo, Pulau Karang, Kepulauan Gam, dan Pulau Arborek. Jika Anda ingin melihat burung Cendrawasih yang menjadi satwa khas Papua, Anda dapat mengunjungi Kepulauan Gam. Terdapat 4 jenis burung cendrawasih yang hidup di Kepulauan Gam tersebut, yaitu cendrawasih merah, cendrawasih besar, cendrawasih kecil, dan cendrawasih belah rotan.
Pulau Karang, salah satu tempat wisata Raja Ampat
Jika Anda tertantang untuk mendaki karang, pergilah ke Pulau Karang. Di pulau ini Anda akan mendaki karang dengan tingkat kemiringan mencapai 90 derajat. Jika berhasil sampai di atas, Anda akan terpukau dengan keindahan panorama laut Raja Ampat. Di puncak karang tersebut, Anda dapat melihat keselurahan pulau hijau yang dikeliling birunya air laut.
Rute transportasi ke wisata Raja Ampat
Untuk sampai di kepulauan Raja Ampat, tempat terdekat yang dapat dijangkau pesawat terbang adalah kota Sorong, dengan jarak tempuh sekitar 6 jam penerbangan dari Jakarta. Biasanya pesawat akan transit di Makassar atau Manado. Maskapai yang memiliki jadwal penerbangan menuju Sorong antara lain Silk Air, Garuda Indonesia, Pelita Air, dan Merpati. Selanjutnya, Anda akan menuju Waisai, ibu kota Raja Ampat. Kota Waisai  ini terletak di Pulau Waigeo, salah satu dari 4 pulau utama (pulau besar) di Kepulauan Raja Ampat. Pulau besar di Raja Ampat adalah Pulau Misool, Pulau Salawati, Pulau Batanta, dan Pulau Waigeo.


SURGA KECIL DUNIA, TANAH PAPUA

SURGA KECIL DUNIA, TANAH PAPUA
Wisata Raja Ampat adalah tempat wisata di Papua yang telah mendunia. Ketenaran Raja Ampat sebagai salah satu destinasi perjalanan paling menarik telah didokumentasikan dalam film dokumenter yang berjudul “Edis Paradise 3″ dengan pemutaran perdananya di Swiss. Film dokumenter yang dibuat oleh Avant Premiere ini mengangkat keindahan alam bawah laut Raja Ampat di Papua yang disebut sebagai Amazon Lautan Dunia. Julukan ini disandang karena posisi Raja Ampat tersebut berada di pusat segitiga karang dunia. Raja Ampat yang termasuk dalam teritorial Papua Barat ini adalah gugusan pulau dengan 610 pulau yang tersebar, tetapi baru hanya 35 pulau yang ditempati oleh penduduk.
Perlu diketahui bahwa 75% spesies ikan di dunia ini berada di perairan Raja Ampat. Lautan di Raja Ampat adalah ekosistem alam yang masih terjaga kelesetariannya hingga kini. Tingginya nilai strategis alam laut di Papua tersebut menyebabkan wisata Raja Ampat di Papua dilindungi dengan undang-undang RI.
Hal ini untuk mencegah berbagai tindakan pengrusakan ekosistem laut yang semata-mata mengejar keuntungan bisnis. Bukan tanpa alasan! Wisata Raja Ampat telah menjadi fokus wisata dunia pada saat-saat sekarang ini.
Ekosistem bawah laut wisata Raja Ampat
Wisata Raja Ampat di Papua menawarkan sejumlah objek wisata yang sangat diminati oleh para wisatawan mancanegara pada khususnya, yakni diving. Kegiatan diving (penyelaman bawah laut) dan snorkeling di Raja Ampat akan menunjukkan keindahan alam bawah laut Raja Ampat di Papua yang begitu mempesona, dengan berbagai jenis spesies ikan serta terumbu-terumbu karang yang hidup natural. Diving di Raja Ampat akan menunjukkan kepada Anda berbagai aneka spesies ikan yang bahkan belum pernah Anda ketahui sebelumnya. Ingat, 75% spesies ikan dunia berada di Raja Ampat. Pernahkah Anda melihat ikan pari manta? Lebar tubuh ikan pari ini bahkan mencapai 2 m.
Untuk kegiatan diving, baca juga artikel yang mengupas tentang diving Raja Ampat di Pulau Wayag.
Paling sedikit terdapat 1500 spesies ikan, 537 spesies koral, dan 699 hewan tak bertulang belakang yang dapat Anda temukan di alam bawah laut Raja Ampat. Untuk diving, Anda akan ditemani oleh ahlinya dan menggunakan peralatan menyelam yang lengkap. Jika Anda pernah melakukan diving di pantai-pantai lain, maka Anda akan begitu takjub terhadap keindahan bawah laut Raja Ampat Papua. Terumbu karang yang hidup menjadi tempat sumber makanan ribuan spesies ikan dan satwa laut lainnya. Ekosistem yang sangat natural dan demikian mempesona inilah yang membuat Raja Ampat dijuluki sebagai Amazon Lautan Dunia.
Alam bawah laut wisata Raja Ampat
Sebagian orang menyebutkan wisata Raja Ampat di Papua ini adalah surga wisata tersembunyi yang dimiliki oleh Indonesia. Wisata Raja Ampat mungkin dapat dinobatkan sebagai wisata alam bawah laut paling mempesona yang dimiliki oleh Indonesia. Yang dapat menandingi keindahan alam bawah lautnya mungkin hanya wisata Pulau Weh di Sabang, Aceh. Jika tempat wisata Raja Ampat berada di bagian timur Indonesia, maka wisata Pulau Weh Sabang berada di bagian paling barat Indonesia.
Untuk mengetahui Pulau Weh, baca juga artikel yang mengupas tentang wisata Pulau Weh di Sabang Aceh.
Uniknya, kedua tempat wisata dengan kegiatan diving-nya yang termasuk paling menarik di dunia tersebut justru mendapat atensi yang besar dari para wisatawan luar negeri. Ketertarikan warga asing dan jumlah kunjungannya dengan tren yang meningkat waktu demi waktu membuat kedua tempat wisata laut Indonesia ini menjadi begitu terpopuler di kalangan internasional. Justru para penikmat perjalanan dari dalam negeri yang kalah dalam mengunjungi tempat wisata laut tersebut.
Harus diakui, faktor biaya adalah penyebab utama yang membuat kedatangan wisatawan domestik ke tempat wisata Raja Ampat Papua masih tergolong sedikit. Kondisi infrastruktur di Papua yang belum memadai serta besarnya biaya transportasi ke/dari Papua membuat sebuah tempat menarik di Papua ini belum ramai dikunjungi wisatawan Indonesia. Belum lagi tentang biaya akomodasi dan logistik yang harus dikeluarkan selama menikmati wisata di Raja Ampat tersebut.
Berbeda dengan turis asing yang memiliki tingkat pendapatan lebih tinggi daripada warga Indonesia, kondisi keuangan yang lebih baik tersebut memungkinkan mereka untuk menikmati diving sebagai salah satu objek wisata Raja Ampat yang paling populer. Hal demikian juga terlihat di daerah wisata Pulau Weh di Sabang Aceh. Tingkat kedatangan turis mancanegara lebih banyak ketimbang wisatawan domestik.
Apa saja objek wisata Raja Ampat?
Diving dan snorkeling adalah salah satu kegiatan wisata Raja Ampat yang paling terkenal. Namun, Anda harus tahu bahwa tempat wisata di Papua ini juga memiliki  hutan yang lebat, gugusan batu kapur yang berwarna-warni, aneka spesies tumbuhan langka, serta sarang penyu di tepi pantai.
Sebagian wisatawan akan berselancar di Raja Ampat karena tempat wisata ini memiliki ombak laut yang cukup menantang. Beberapa pulau di Raja Ampat yang paling sering dikunjungi adalah Pulau Wayag, Pulau Waiwo, Pulau Karang, Kepulauan Gam, dan Pulau Arborek. Jika Anda ingin melihat burung Cendrawasih yang menjadi satwa khas Papua, Anda dapat mengunjungi Kepulauan Gam. Terdapat 4 jenis burung cendrawasih yang hidup di Kepulauan Gam tersebut, yaitu cendrawasih merah, cendrawasih besar, cendrawasih kecil, dan cendrawasih belah rotan.
Pulau Karang, salah satu tempat wisata Raja Ampat
Jika Anda tertantang untuk mendaki karang, pergilah ke Pulau Karang. Di pulau ini Anda akan mendaki karang dengan tingkat kemiringan mencapai 90 derajat. Jika berhasil sampai di atas, Anda akan terpukau dengan keindahan panorama laut Raja Ampat. Di puncak karang tersebut, Anda dapat melihat keselurahan pulau hijau yang dikeliling birunya air laut.
Rute transportasi ke wisata Raja Ampat
Untuk sampai di kepulauan Raja Ampat, tempat terdekat yang dapat dijangkau pesawat terbang adalah kota Sorong, dengan jarak tempuh sekitar 6 jam penerbangan dari Jakarta. Biasanya pesawat akan transit di Makassar atau Manado. Maskapai yang memiliki jadwal penerbangan menuju Sorong antara lain Silk Air, Garuda Indonesia, Pelita Air, dan Merpati. Selanjutnya, Anda akan menuju Waisai, ibu kota Raja Ampat. Kota Waisai  ini terletak di Pulau Waigeo, salah satu dari 4 pulau utama (pulau besar) di Kepulauan Raja Ampat. Pulau besar di Raja Ampat adalah Pulau Misool, Pulau Salawati, Pulau Batanta, dan Pulau Waigeo.


PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu :
– Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
– Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor tersebut yaitu :
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.
Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
– Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
– Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.


PERMASALAHAN KURIKULUM

PERMASALAHAN KURIKULUM DI INDONESIA
Salah satu variabel yang memengaruhi sistem pendidikan nasional  adalah kurikulum. Oleh karena itu, kurikulum harus dapat mengikuti dinamika yang ada dalam masyarakat. Kurikulum harus bisa menjawab kebutuhan masyarakat luas dalam menghadapi persoalan kehidupan yang dihadapi. Sudah sepatutnya kalau kurikulum itu terus diperbaharui seiring dengan realitas, perubahan, dan tantangan dunia pendidikan dalam membekali peserta didik menjadi manusia yang siap hidup dalam berbagai keadaan. Kurikulum harus komprehensif dan responsif terhadap dinamika sosial, relevan, tidak overload, dan mampu mengakomodasikan keberagaman keperluan dan kemajuan teknologi

Kurikulum jangan sampai membebani peserta didik, seperti beban belajar yang terlalu berat. Beban belajar di Indonesia saat ini mencapai 1.000-2.000 jam per tahun. Bahkan sekolah-sekolah tertentu menerapkan jam belajar lebih lebih tinggi sehingga memberatkan siswa. Beban jumlah jam pelajaran seperti itu terlalu berat, apalagi selain tatap muka di kelas siswa harus mengikuti ekstrakurikuler dan mengerjakan pekerjaan rumah. Jika dijumlahkan jam yang dibebankan pada siswa justru membuat siswa tidak ada waktu untuk istirahat. Beban belajar siswa di Indonesia kelebihan 20% jika dibandingkan dengan beban belajar siswa di luar negeri yang beban belajar siswa berkisar 800-900 jam per tahun.

PENDIDIKAN DIAKHIR TAHUN 2015

PENDIDIKAN DI AKHIR TAHUN 2015
Tahun 2015 dunia pendidikan kita sarat dengan cerita duka, bahkan mendung masih menggelayut di penghujung tahun ini, karena berbagai persoalan pendidikan datang silih berganti, mungkin memberi irama, tapi sumbang, mungkin memberi warna, tapi semakin menjadi kusam.
Kurikulum 2013 yang merupakan peninggalan kebijakan pendidikan era M. Nooh tetap berjalan, sampai akhirnya kebijakan baru lewat menteri yang baru sedikit memberi harapan pada awalnya, melalui penghentian pelaksanaan K13 di sebagian sekolah, banyak pihak menyambut baik keputusan tersebut meski banyak juga yang menyayangkan mengapa tidak dihentikan saja secara total, toh sudah cukup terang benderang alasan-alasan yang menyebabkan K13 belum cukup layak untuk diterapkan.
Dan kalau kita sebagai pelaku-pelaku pendidikan mau jujur 100% pasti semua akan menjawab apa sih dampak kemajuan dari pelaksanaan K13 yang sudah dirasakan ? apakah ada perubahan yang signifikan ? apakah mindset kita sudah sesuai harapan K13 ?
Dengan lamanya bergulirnya waktu dan besarnya Triliunan Rupiah yang telah keluar untuk membiayai K13 ini, kiranya sangat perlu kita berhitung ulang, bukan hanya materi tetapi esensi dan dampak perubahan itu.
Selain kurikulum, sertifikasi guru menjadi salah satu hits persoalan pendidikan yang tak kunjung usai. Sertifikasi guru yang dengan ideal ingin membentuk guru-guru yang profesional nampaknya masih jauh panggang dari api, masih tidak sesuai harapan, ataukah mungkin sudah keluar jalur ?
Filosofi VIP-kan guru – sekarang seolah berubah menjadi Persulit Guru, guru yang seharusnya menjadi ujung tombak, sekarang makin sering guru menjadi kambing hitam.
Beberapa tahap ketidakpercayaan pemerintah terhadap guru, dan ketidakpercayaan ini akan selalu diulang-ulang setiap tahun melalui Uji Kompetensi Guru (UKG) merupakan satu indikator bahwa dunia guru selalu menjadi sorotan ketidakpercayaan dan kambing hitam terhadap keterpurukan dunia pendidikan kita.
Apabila kita bisa membandingkan secara rasio yang wajar, dunia guru hanyalah sebagian kecil dari sistem pendidikan kita secara umum, karena disisi lain ada dunia Perguruan Tinggi/ dunia dosen, ada kurikulum, dan ada kebijakan yang secara umum mengatur sistem pendidikan itu sendiri.
Sangatlah disayangkan apabila persoalan pendidikan selalu berkutat hanya menyoroti dunia guru, yang notabene guru juga manusia, yang punya rasa dan punya hati seperti orang-orang dengan profesi yang lain.
Cobalah, seorang guru adalah produk perguruan tinggi juga, sudah melalui tempaan kuliah beberapa tahun, kemudian lulus dengan ijazah dan akta mengajar, tentunya bukanlah sebuah proses yang serta merta dan instan. Kemudian melalui proses penerimaan PNS seorang guru pada dasarnya sudah melalui proses seleksi yang kualified.
Setelah itu seorang guru menjalani proses sertifikasi guru, lulus dan mendapatkan penghargaan melalui tunjangan profesi, lalu guru menjalani UKG, lulus, dan UKG lagi, lulus lagi, begitu seterusnya…. apalagi yang masih kurang ???
Predikat profesional bagi seorang guru saat ini seolah hanya sebuah mimpi yang akan sangat sulit dicapai, melihat regulasi dan sistem yang tidak wajar dan tidak fair. Seorang guru yang mendapatkan penghargaan tunjangan profesi memang sebuah anugrah yang patut disyukuri, tapi dalam batin seorang guru, ada perasaan yang tidak rela, ada perasaan yang menyakitkan ketika proses uji kompetensi dan uji sertifikasi menggunakan pola yang tidak transparan, baik sistem dan hasilnya.
Pemerintah cenderung membesar-besarkan angka-angka yang di bawah standar, mereka-mereka yang katanya tidak kualified, dengan menyodorkan berbagai peraturan dan ancaman hukuman. Sementara angka-angka yang lulus, mereka-mereka yang mungkin kualified sama sekali tidak pernah di ekspose dan diberikan reward.
Persoalan lain yang dihadapi dunia pendidikan di tahun 2015 adalah persoalan pendataan pendidikan yang dengan secara membabi buta telah membebani guru, tanpa urgensi yang jelas dan cenderung mengganggu konsentrasi guru dalam proses belajar mengajarnya. Setiap tahun rata-rata pendataan dilakukan lebih dari lima kali.
Pertanyaannya, kapankah dunia pendidikan kita mempunyai database pendidikan yang tersentral, terintegrasi, valid dan dapat dipakai semua komponen pendidikan ? jawabnya tergantung kemauan pihak-pihak yang berperan sebagai penentu regulasi dan kebijakan. Harus ada satu saja jenis pendataan yang menyeluruh, yang dapat dipakai semua pihak, up to date, dan valid.
Di sisi sekolah harus mengoptimalkan peran dan tupoksi Tata Usaha (TU) sebagai ‘pelayan guru’. Tata Usaha sekolah harus diisi orang-orang yang mampu mengikuti perkembangan jaman, sehingga pendataan pendidikan yang serumit apapun mampu diselesaikan oleh Tata Usaha, tidak membebani profesi guru yang harus melayani siswa dalam pembelajaran. Sekali lagi tupoksi TU adalah ‘melayani guru’ bukan sebaliknya.
Itulah sedikit catatan akhir tahun dunia pendidikan kita,
Masih banyak persoalan-persoalan lain yang urgen, tapi belum sempat dibahas dalam tulisan ini, misalnya:
Perlunya mengembalikan mapel TIK dan KKPI ke dalam kurikulum pendidikan kita
Perlunya mengurangi jumlah mata pelajaran di kurikulum kita , dan mengurangi beban belajar siswa.
Perlunya mensejahterakan guru tanpa harus membebani guru dengan persyaratan-persyaratan yang ‘kurang profesional’
Mudah-mudahan dalam kesempatan lain bisa kita perjelas……. Guru adalah ‘agen perubahan’


PAHLAWAN DIDALAM DIRI KITA

PAHLAWAN DIDALAM DIRI KITA
Indonesia adalah cermin yang retak. Elite negeri hanya melihat segala sesuatu dari sudut bayangan kepentingan masing-masing. Keakuan dan kekamian mencekik kekitaan. Rakyat kebanyakan hidup tanpa perlindungan berarti dari negara, bak yatim piatu yang ditinggalkan, dikhianati, dan dikorbankan. Dalam kondisi kerakyatan yatim piatu, bahaya terbesar adalah terjebak dalam pola pikir ketergantungan dan mentalitas korban (victim mindset), yang serba pasif menanti kedatangan juru selamat.
Krisis kebangsaan takkan pernah bisa menemukan penyelesaian apabila rakyat terus memandang kepahlawanan sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya. Ketimbang terus menunggu kedatangan pahlawan di luar sana, lebih baik warga menghidupkan kekuatan kepahlawanan dalam diri sendiri. Seperti diingatkan psikolog Carl S Pearson, orang-orang biasa bisa menghadirkan kehidupan luar biasa apabila mampu mendayagunakan apa yang disebutnya sebagai ”the power of mythic archetypes”, yakni mitos tentang fitrah (archetype) kepahlawanan dalam diri.
Menurut Pearson, ada enam model fitrah kepahlawanan dalam diri. Pertama, model yatim piatu (orphan), dengan memandang hidup sebagai penderitaan, dan tugas kepahlawanannya adalah berjuang mengarungi kesulitan. Kedua, model pengembara (wanderer), dengan memandang hidup sebagai petualangan, dan tugas kepahlawanannya menemukan kesejatian diri. Ketiga, model pendekar (warrior), dengan memandang hidup sebagai pertarungan, dan tugas kepahlawanannya adalah membuktikan harga diri.
Keempat, model murah hati (altruist), dengan memandang hidup sebagai komitmen terhadap kebajikan lebih luhur, dan tugas kepahlawanannya adalah menunjukkan pertolongan (pelayanan). Kelima, model bersahaja (innocent), yang memandang hidup sebagai keriangan, dan tugas kepahlawanannya adalah meraih kebahagiaan. Keenam, model tukang sulap (magician), dengan memandang hidup sebagai seni menciptakan dunia, dan tugas kepahlawanannya adalah mentransformasikan diri.
Di tengah kegaduhan pesta pora elite negeri yang mabuk kepayang, yang melupakan dan menelantarkan rakyat sebagai yatim piatu, warga tidak bisa terus meratapi penderitaan sambil melamunkan kedatangan Sang Herucokro. Warga harus bangkit bertempur, menghidupkan fitrah kependekaran dalam dirinya. Dengan menghidupkan jiwa kependekaran, warga bisa menjalani kehidupan lebih gigih dan bertenaga, tak lembek membiarkan kejahatan dan pengkhianatan berjalan tanpa perlawanan. Dengan pengaktifan daya-daya perjuangan, tanpa perlu kekerasan, warga bisa terlibat dalam tarian kehidupan (the dance of life), tidak sekadar penonton yang cuma pandai berteriak, mengumpat, dan mengeluh.
Ketika politik di negeri ini menjelma menjadi seni memerintah dengan menipu rakyat, yang menjadikan kekuasaan sebagai sarana pemenuhan keserakahan, kepahlawanan yang harus dibangkitkan dari dalam diri adalah jiwa ”murah hati” (altruist).
Di dalam budaya kependekaran, pencapaian adalah segalanya. Namun, kita semua suka dinilai sebagai manusia, terlepas dari apa pencapaian kita. Tanpa orang-orang yang bekerja tanpa pamrih, memberikan cinta dan kepedulian tanpa berharap balasan, kehidupan masyarakat seperti arena transaksi jual beli yang kering dan mandul. Kita perlu memiliki makna hidup yang lebih luas sebagai panduan hidup, yang tidak sekadar didorong oleh nafsu meraih kekuasaan dan uang. Jiwa altruist melambangkan semangat berbagi dan kelimpahan kasih, yang dapat menyuburkan kembali bumi yang tandus. Jika negara ini dirundung banyak penyakit, tiada lain karena yang ditumbuhkan dalam kehidupan adalah rakus dan dengki. Jalan cinta dengan semangat berbagi dan melayani adalah obat mujarab yang memberi kesehatan pada kehidupan.
Akhirnya, di republik korup yang dirayakan oleh maling teriak maling, ratusan undang-undang dibuat untuk dilanggar, dan berbagai prosedur direkayasa untuk menjadi perangkap ketersesatan baru; yang diperlukan untuk mentransformasikan kehidupan adalah aktor politik yang mampu menghidupkan kekuatan magician. Magician menjalani hidup bersahaja (innocent), tetapi lebih aktif sebagai pembuat perubahan. Seorang magician bersedia bangkit berdiri, bahkan jika penuh risiko atau menuntut perubahan revolusioner. Namun, berbeda dengan para warrior, aktor-aktor magician tidak berilusi untuk mengontrol sepenuhnya kehidupan; sebaliknya mereka bersedia membiarkan dirinya menjadi bagian yang ditransformasikan oleh kehendak zaman.
Dengan demikian, mereka mampu membaca arus dan arah pergerakan kehidupan lebih jernih yang dapat memberikan efek perubahan lebih dahsyat, yang tampak seperti magic. Jika para warrior berstrategi menggunakan kehendak dan kekerasan hati untuk membuat perubahan, para magician percaya kekuatan visi akan menciptakan momentumnya tersendiri. Karakter seperti itulah yang tampak dari para magician terkemuka dunia, seperti Mohandas K Gandhi dan Martin Luther King.
Kalau ada yang paling salah dalam proses pembelajaran politik di negeri ini, hal itu tak lain pahlawan selalu ditempatkan di kesilaman di luar diri, tetapi tak pernah dihadirkan di kekinian di dalam diri. Pahlawan selalu merupakan sesuatu tanpa penantian dan kematian, tidak pernah menjanjikan kehadiran dan kehidupan.
Saatnya kita jadikan kepahlawanan sebagai sesuatu yang hidup di dalam diri, sekarang dan di sini, dengan mentransformasikan diri secara terus-menerus sehingga mampu mengubah situasi penderitaan menjadi wahana penempaan diri menjadi seorang magician.




OPTIMISME PENDIDIKAN 2016

OPTIMISME PENDIDIKAN 2016
“Tanah Air kita meminta korban. Dari di sinilah kita siap sedia memberi korban yang sesuci-sucinya. Sungguh, korban dengan ragamu sendiri ialah korban yang paling ringan. Memang awan tebal dan hitam menggantung di atas kita. Akan tetapi, percayalah di baliknya masih ada matahari yang bersembunyi. Kapan hujan turun dan udara menjadi bersih karenanya?”
(Ki Hadjar Dewantara).
KUTIPAN dari Ki Hadjar Dewantara di atas merupakan pertanda selalu ada optimisme dalam mengelola pendidikan. Meskipun tantangan dan rintangan tidak mudah untuk dihindari, dunia pendidikan harus terus meniupkan napas optimismenya karena menyangkut masa depan bangsa. Cara yang paling mungkin dan mudah untuk dilakukan ialah kemauan untuk selalu belajar dari kesalahan, melihat data-data statistik persoalan-persoalan pendidikan kita secara cermat, dan melakukan usaha perbaikan berdasarkan data-data tersebut.
Laporan OECD tentang pendidikan selama 2015, misalnya, dapat menjadi acuan kita untuk melakukan perubahan. Laporan tersebut setidaknya mengindikasikan masih banyaknya negara yang kerepotan dalam menangani pembiayaan pendidikan karena terjadinya perlambatan ekonomi. Selain itu, hal tersebut juga disebabkan angka-angka statistik yang berkaitan dengan angka kelulusan sekolah menengah yang terserap dunia kerja, kaitan antara pendidikan dengan mobilitas sosial, kemampuan guru dan siswa untuk menjadikan informasi dan teknologi, dan kesejahteraan guru. Lama belajar dan mengajar rata-rata guru dan siswa juga masih harus dianalisis secara saksama mengingat tiap-tiap negara menerapkan sistem yang berbeda dalam mengelola kebijakan pendidikan mereka.
Untuk kasus Indonesia, jelas masalah-masalah di atas masih menjadi isu sentral yang tidak mudah diselesaikan. Karut-marut implementasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah jelas menjadi salah satu kendala yang sangat akut untuk mengubah benang kusut pendidikan di Tanah Air. Bukan hanya kusut, dunia pendidikan juga menjadi basah karena masa depan anak-anak selalu dipertaruhkan oleh kebodohon sesaat dan sesat dari para politikus kita yang senang mengumbar isu-isu pendidikan untuk kepentingan politik praktis semata.
Temuan kunci
Beberapa temuan kunci proses pendidikan sepanjang 2015 boleh jadi akan mengangkat optimisme kita untuk menyongsong 2016. Dalam hal pencapaian pendidikan, ratarata lebih dari 85% anak-anak muda kita lulus sekolah menengah pertama. Karena itu, kebijakan wajib belajar 12 tahun perlu terus diperhatikan. Ini artinya belanja pendidikan kita untuk tingkat dasar dan menengah setidaknya harus terus diseimbangkan dengan angka pertumbuhan usia anak. Jika dikaitkan dengan angka pertumbuhan pre-school program, jelas akan lebih banyak lagi dana yang dibutuhkan mengingat angka lembaga-lembaga penyelenggara PAUD tumbuh sangat fantastis di Indonesia.
Temuan kunci lainnya berkaitan dengan kebijakan pendidikan sepanjang 2015 ialah tidak dijadikannya UN sebagai basis kelulusan siswa meskipun tetap saja kebijakan itu perlu diperhatikan dengan saksama. Sebab, pada praktiknya, belum tentu kebijakan itu serta-merta melahirkan dan menumbuhkan kualitas pendidikan yang lebih baik.
Sebagaimana dikemukakan Robert Linn (2001), pola penilaian eksternal jenis UN mengandung risiko terhadap berbagai bentuk kecurangan dan malapraktik yang sering kali sulit dikontrol karena harus melibatkan banyak pihak yang mungkin tidak memiliki hubungan langsung dengan peningkatan kualitas pendidikan. Selain itu, juga disebabkan siswa sebelum mengikuti UN harus mengikuti berbagai pelatihan soal, drilling soal. Jadi, kualitas yang diperoleh kurang hakiki. Angka perolehan UN pasti akan meningkat, tetapi pemahaman siswa terhadap konsep dan kemampuan berpikir belum tentu berubah lebih baik. Karena itu, kebijakan tidak menjadikan UN sebagai basis kelulusan diharapkan akan sedikit menambah kualitas proses belajar yang lebih baik.
Optimisme itu harus diimbangi dengan cara memperbaiki seluruh proses pembelajaran pada tingkat kelas dan kegiatan pendukung lainnya pada lingkungan sekolah. Pendekatan model itu biasanya kurang diminati para birokrasi pendidikan karena dinilai akan sangat melelahkan. Pendekatan itu bukan hanya mensyaratkan kompetensi dan profesionalitas kerja, melainkan lebih dari itu. Ia membutuhkan keikhlasan, komitmen, ketekunan, dan kesabar an serta tanggung jawab penuh dari para pengelola dan pelaku pendidikan. Pendekatan itu dinilai lebih konsepsional, terukur, akuntabel, dan perubahan yang dihasilkan akan lebih menyeluruh dan berkesinambungan. Pendekatan itu umumnya kurang disukai birokrat, politikus, dan komunitas pendidikan, terutama bagi mereka yang sudah terbiasa dengan pola kerja serbainstan.
Mengingat begitu strategisnya kedudukan organisasi sekolah dalam upaya memperbaiki kualitas pembelajaran pada tingkat kelas dan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara luas, seharusnya para pengelola sekolah, termasuk pimpinan, pengawas, dan guru, memiliki konsep kerja dengan langkah yang jelas, terukur, dan akuntabel dalam melaksanakan kewajiban yang menjadi tanggung jawab mereka. Dalam konteks ini, seharusnya konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan K-13 terus dimatangkan dalam sebuah proses dan skema yang jelas dan disepakati semua unsur dalam komunitas sekolah.
Riset pendidikan
Membangun optimisme jelas membutuhkan banyak data yang akurat. Karena itu, dibutuhkan riset-riset pendidikan yang lebih komprehensif berdasarkan unit analisis yang tepat. Tidak ada kata lain selain menjadikan sekolah sebagai basis dan unit analisis riset tentang kebijakan pendidikan. Rencana Dirjen Dikdasmen untuk membuat sekolah percontohan nasional perlu dikaji secara serius dan relevan untuk dilaksanakan jika basisnya ialah kebutuhan sekolah. Membuat sebanyak mungkin indikator yang relevan untuk mengukur kualitas dan akuntabilitas menajemen sekolah itu penting. Sebagai sebuah komunitas, menjadikan sekolah sebagai basis riset kependidikan ialah imperatif.
Minimnya riset-riset kependidikan sebenarnya sejalan dengan minimnya tradisi ilmiah di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka memiliki Litbang, tapi banyak hasil riset mereka yang kurang relevan dengan kebijakan yang akan diambil dan dijalankan. Minimnya tradisi ilmiah dalam riset kependidikan yang masih terbelenggu pada dikotomi antara teori (ilmu) dan praktik; antara das sain dan das solen. Padahal, dari sudut sosiologi, antara aspek teoretis dan praktik pada hakikatnya termuat berbagai bentuk hubungan dialektis antara teori (ilmu) dan praktik.
Pemisahan antara teori (ilmu) dan praktik, menurut Mohammaed Arkoun, sebenarnya merupakan sisa-sisa model Descartes, yang menyebabkan tujuan praktis cenderung hilang. Para ahli pendidikan kita kebanyakan hanya berpikir meluaskan pengetahuan tertentu tanpa memikirkan, baik teoretitasi maupun renungan metodologis, atau apalagi memikirkan kegunaan pengetahuan yang terhimpun dari aspek aplikatif di sekolah.

Dalam rangka membangun optimisme pendidikan kita ke depan, sudah saatnya setiap sekolah dilengkapi sebuah sistem manajemen informasi sekolah, yang mengharuskan setiap guru dan kepala sekolah terus belajar dan menulis sehingga data yang terjadi di sekolah dapat terus tercatat sebagai bagian dari upaya menumbuhkan tradisi riset kependidikan.

MINDSET PENDIDIKAN 2015

MINDSET PENDIDIKAN 2015
Meninggalkan kegelapan pendidikan pada 2015 ialah sebuah keharusan. Saya sepakat dengan Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita, bahwa persoalan pendidikan terlalu banyak untuk diselesaikan dalam waktu yang singkat. Namun, setidaknya keyakinan untuk membangun mindset baru harus terus dilakukan karena sejatinya pendidikan merupakan upaya untuk menjadikan setiap orang memiliki daya nalar yang kritis sekaligus karakter yang kuat. Jika mindset pendidikan kita sepanjang 2015 penuh dengan kegelisahan menyangkut kebijakan pendidikan yang kurang responsif mengikuti kehendak dan kemampuan masyarakat, harapan terhadap mindset perubahan pendidikan pada 2016 harus dimulai.
Setidaknya, ada dua kebijakan penting yang telah diambil Kemendikbud menyangkut perubahan mindset pendidikan kita. Pertama adalah penundaan implementasi Kurikulum 2013 yang belum sempurna dan perlu untuk dievaluasi penahapan implementasinya, terutama pada cara melatihnya terhadap guru dan esensi penilaian yang terbilang ruwet dan perlu pembiasaan yang berkelanjutan. Dalam konteks implementasi Kurikulum 2013, saya menilai sebenarnya tidak terlalu signifikan perubahannya jika unit analisis pelatihannya tetap difokuskan pada guru sebagai individu, sebagai pengampu bidang studi.
Kebijakan kedua yang diharapkan juga mampu mengubah mindset para pelaku pendidikan di tingkat sekolah adalah diubahnya orientasi pelaksanaan UN dari yang sebelumnya menjadi penentu kelulusan siswa, dengan mengembalikan hak dan tanggung jawab guru dan sekolah sebagai penentu kelulusan siswa-siswi mereka. Kedua kebijakan ini jelas signifikan untuk mengubah mindset dan orientasi pendidikan kita yang harus lebih besar lagi memercayai prosesnya daripada hasilnya. Belum lagi persoalan kekerasan di sekolah yang angkanya masih tetap tinggi, bisa jadi merupakan rentetan dari persoalan implementasi kurikulum dan standar penilaian jenis UN yang menyebabkan terjadinya kekerasan serta ketidakjujuran di sekolah.
Strategi implementasi
Kedua kebijakan tersebut, dalam jangka menengah perlu ditindaklanjuti dengan strategi implementasi yang memadai agar perubahan mindset benar-benar terjadi. Karena itu, tak bisa dimungkiri, diperlukan strategi kebudayaan dan pembudayaan yang pas dan tepat guna bagi perubahan mindset kependidikan kita dalam konteks rencana implementasi kurikulum baru dan penumbuhan budaya sekolah yang sehat dan positif.
Jika kebudayaan ialah sumber energi kehidupan manusia, semisal air, pendidikan ialah saluran tempat ke mana air harus mengalir. Keduanya tak mungkin kita pisahkan sampai kapan pun juga. Karena itu, menjadi tuntutan kita untuk memasukkan strategi kebudayaan dalam rencana implementasi kurikulum baru serta menumbuhkan budaya sekolah, terutama ketika para guru akan lebih banyak untuk berinteraksi secara kreatif untuk meningkatkan kompetensi sikap siswa.
Dalam konstelasi rencana penahapan implementasi Kurikulum 2013, strategi kebudayaan jelas harus ditubuhkan dan ditumbuhkan secara sekaligus ke dalam relung jiwa setiap guru, terutama ketika proses belajar-mengajar berlangsung di ruang kelas. Bagaimana caranya? Jika granddesign kurikulum baru adalah penubuhan dan penumbuhan sikap siswa untuk menjadi manusia yang berbudaya dan berkeadaban, proses berlangsungnya suasana belajar-mengajar jelas memerlukan sebuah pendekatan yang kreatif dan menyenangkan. Di sinilah sebenarnya kebutuhan how-to secara praktis perlu dipikirkan secara komprehensif oleh semua stakeholder pendidikan.
Secara praksis, penting untuk memperkenalkan modelmodel pembelajaran berbasis kreativitas (creative learning) bagi guru-guru kita sebagai strategi implementasi kurikulum baru. Dalam pembelajaran berbasis kreativitas, guru dapat diperkenalkan dengan teknik-teknik berpikir kreatif serta jenis-jenis hambatan psikologis (mental blocks) dalam berpikir kreatif. Pendekatan lain yang juga memungkinkan untuk meningkatkan cara berpikir kreatif guru ialah memperkenalkan guru dengan system thinking in school-nya Peter Senge.
Selain kemampuan berpikir kreatif, guru juga perlu dibekali dengan strategi pembelajaran kreatif berbasis budaya lokal dan nasional. Ada begitu banyak pendekatan yang bisa diadaptasi guru agar proses pembelajaran dapat berlangsung secara kreatif dan menyenangkan. Tools atau alat yang mungkin digunakan untuk menciptakan pembelajaran kreatif ialah sejenis cara berpikir sebab akibat (causal loops), pembelajaran tematis, behavior over time graphs (BOTG’s), stock and flows, EELDRC (enroll, experience, label learning, demonstrate, review, celebrate), dan narrative chains. Problemnya ialah, adakah skenario ini dalam rencana implementasi Kurikulum 2013?
Metode dan alat-alat yang disebutkan di atas, jika dirancang dalam sebuah modul yang bertanggung jawab pasti dapat menjadi jembatan bagi upaya menumbuhkan sekaligus menubuhkan budaya dan tradisi siswa yang lebih mandiri dan berkarakter. Dalam jangka panjang, tentu saja kemampuan inilah yang diharapkan diadaptasi Kemendikbud sebagai alasan pengembangan
Kurikulum 2013 yang terdiri dari kemampuan berkomunikasi, berpikir jernih, dan kritis. Selain itu, mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, menjadi warga negara yang bertanggung jawab, kemampuan mencoba untuk mengerti, dan toleran terhadap pandangan yang berbeda. Kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal, memiliki minat luas dalam kehidupan, memiliki kesiapan untuk bekerja, memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya, serta memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan.
Sekali lagi, jika diamati secara saksama, rencana Kurikulum 2013 ini bagi saya harus kuat mengagendakan penguatan kapasitas sekolah dalam rangka menumbuhkan budaya sekolah yang sehat. Budaya sekolah yang sehat hanya dapat dibangun melalui strategi kebudayaan yang tepat dengan cara memberikan guru pelatihan dan workshop yang menunjang kemampuan ber pikir kritis, menyelenggarakan pembelajaran yang kreatif, serta memahami struktur filosofis grand-design kurikulum baru yang lebih berorientasi pada penanaman karakter yang kuat terhadap peserta didik.
Penting untuk diingat, selama lebih dari tiga dekade, perubahan kurikulum di Indonesia selalu bersifat top-down approach. Yin Cheong Cheng dalam Effectiveness of Curriculum Change in School: An Organizational Perspective (1994), mengingatkan agar perubahan kurikulum bisa berlangsung setidaknya di tiga level, yakni individu guru, kelompok, dan sekolah. Karena itu, strategi kebudayaan dalam pendidikan kita juga seyogianya memasukkan agenda seperti perbaikan manajemen sekolah, memberlakukan kurikulum berbasis sekolah, serta membiarkan sekolah memiliki strategi implementasi kurikulum berdasarkan perencanaan pengembangan sekolah yang sesuai dengan visi dan misinya ialah sebuah keniscayaan. Dibutuhkan workshop penguatan kapasitas leadership guru dan manajemen sekolah dalam proses implementasi Kurikulum 2013. Dengan ini semua, semoga harapan Kemendikbud agar terjadi perubahan mindset di lingkungan pendidikan kita akan terwujud.


MENGUJI GURU

MENGUJI GURU
Dalam khazanah pendidikan Islam ada ungkapan populer: ”Attariqah ahammu min al maddah. Al mudarrisu ahammu min attariqah. Wa ruhu al mudarrisu ahammu min al mudarrisu nafsihi”. Terjemahannya: Metode lebih penting daripada materi/kurikulum. Guru lebih penting daripada metode. Namun, roh/spirit guru jauh lebih penting daripada guru itu sendiri.
Ungkapan di atas memberikan gambaran tentang inti persoalan pendidikan, yaitu guru, dan menunjukkan dari mana harusnya langkah peningkatan mutu dan kinerja guru dimulai. Pemerintah berada pada jalan yang benar ketika hendak meningkatkan mutu pendidikan nasional dengan menjadikan guru sebagai tenaga profesional. Melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kualifikasi dan kompetensi guru diobyektifkan. Perekonomian guru juga ditingkatkan melalui tunjangan profesi bagi yang telah tersertifikasi. Namun, hampir 10 tahun kebijakan itu dijalankan, mutu dan kinerja guru tak kunjung membaik.
Meski secara normatif benar, implementasi kebijakan profesionalisme dengan penilaian portofolio bagi guru dalam jabatan tidak menyasar secara efektif pada pemecahan inti persoalan dan peningkatan kualitas sebagaimana diharapkan oleh UU. Kegiatan sertifikasi terbatas pada kegaduhan administratif, sementara tunjangan profesi malah menumbuhkan mentalitas materialistik. Bukan kali ini saja kebijakan pemerintah dalam membenahi mutu guru tak efektif. Sebelumnya, pembubaran sekolah pendidikan guru (SPG) di awal 1990-an, pengalihan institut keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP) jadi universitas pada 1999 juga tampak tak tuntas dan tak membuahkan hasil.
Bila kualitas guru rendah—oleh sebab itu mutu pendidikan juga rendah—tak sepenuhnya kesalahan guru, juga karena pengelolaan yang buruk. Mereka yang jadi guru di negeri ini umumnya bukanlah berasal dari pelajar yang berminat dan berprestasi terbaik. Pilihan memasuki sekolah guru atau lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) adalah ”pilihan terpaksa” setelah tidak diterima pada jurusan idola lainnya. Setelah menjadi guru, sebagian besar tidak pernah mendapatkan pendidikan dan pelatihan: tak heran bila sikap dan pengetahuannya ”memfosil”.
Program profesionalisme sejatinya jadi momen emas untuk perbaikan mutu dan kinerja guru, khususnya guru dalam jabatan. Tunjangan profesi yang disediakan pemerintah seyogianya dijadikan sebagai insentif dari keikutsertaan dalam proses sertifikasi yang efektif. Sayangnya, sejak awal, kesempatan itu tidak dimanfaatkan sungguh-sungguh oleh pemerintah. Alhasil profesionalisme yang kedengarannya keren hanya berdampak pada peningkatan ekonomi sebagian guru, dan menyisakan lebih dari 1,4 juta guru yang belum disertifikasi hingga 2015, sebagai batas akhir yang ditetapkan UU.
Paradigma evaluatif
Menyaksikan ketiadaan efek positif pada kualitas, semasa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh dicoba intervensi terhadap mutu guru melalui kebijakan uji kompetensi awal (UKA) sebagai bagian sistem seleksi sertifikasi. Belakangan UKA menjadi uji kompetensi guru (UKG) yang dinyatakan sebagai upaya pemetaan dalam rangka pengembangan keprofesian berkelanjutan.
Namun, program kelanjutan pemanfaatan hasil UKG tak terekspos cukup jelas sehingga kegiatan evaluatif ini sepertinya jadi andalan utama dalam meningkatkan mutu. Sekitar 1,6 juta guru yang di-UKA dan UKG terdahulu belum dapat sentuhan lanjutan, padahal nilai mereka rata-rata di bawah 5. Bahkan pada 2015 mereka diwajibkan ikut UKG lagi. Selain UKG, guru juga akan menghadapi ”penilaian kinerja” di lapangan. Menguji, menilai, dan mengawasi sebagai jalan peningkatan mutu agaknya menjadi paradigma yang dikembangkan oleh Kemdikbud.
Sebagaimana ujian nasional pada siswa, guru akan di-UKG setiap tahun. Rencana Strategis Kemdikbud 2015-2019 telah mematok target skor 5,5 untuk 2015 dan berturut-turut hingga 2019 adalah 6,5; 7,0; 7,5; dan 8,0. Target yang telah ditetapkan biasanya akan selalu tercapai sebagai tanda kesuksesan kinerja kementerian.
Konon, Kemdikbud telah menyiapkan 10 modul untuk mengelompokkan guru atas hasil UKG, berdasarkan itu para guru akan mendapatkan materi dan pelatihan. Tentunya Kemdikbud juga memiliki desain dan model pelatihan mustajab yang menjamin terjadinya perubahan revolusioner pada kompetensi sehingga guru perlu diuji setiap tahun. Jika tidak, lalu untuk apa UKG dengan biaya miliaran rupiah diadakan setiap tahun?
Dalam memotret kompetensi guru, kemampuan UKG menangkap fakta empirik terbatas pada aspek ”pengetahuan” guru tentang pedagogi dan materi pelajaran. UKG tak dapat memotret kompetensi itu ketika diterapkan dalam praktik kelas, apalagi memotret roh atau spirit guru yang sebenarnya sangat penting, seperti di awal tulisan ini. Memang akan ada ”penilaian kinerja” untuk melengkapi hasil UKG, tetapi apakah Kemdikbud punya waktu dan kecermatan mengombinasikan penilaian individual itu dengan hasil UKG sehingga posisi seorang guru terpetakan secara komprehensif? Kapan intervensinya jika pemerintah sibuk menguji dan menilai dari tahun ke tahun.
Dari hasil UKG tak dapat disimpulkan demikianlah sosok, kualitas, atau persoalan guru. Maka, kebijakan akan mengalami diskrepansi bila hasil UKG dijadikan dasar pertimbangan utama dalam pemecahan masalah dan kualitas guru. Situasi buruk sesungguhnya berakar pada sistem perekrutan, pendidikan, dan pengembangan guru sehingga pembenahan mendasar harus dimulai dari hulu persoalan ini. Sementara guru dalam jabatan, kompetensinya dapat ditingkatkan secara sistemik melalui pengelolaan motivasinya.
Roh keguruan
Pemerintah akan kewalahan meningkatkan kompetensi dalam situasi mental para guru yang ketiadaan aspirasi. Rendahnya kompetensi pedagogi dan profesional guru, menurut hemat saya, adalah dampak dari rendahnya motivasi yang berakumulasi dalam rentang panjang. Sedari awal kebanyakan tak ada ”panggilan” hati, bekerja dengan pendapatan tak menarik, lalu hidup di tengah situasi bangsa yang serba korup membuat para guru kehilangan argumentasi dan aspirasi tentang keharusan menjadi guru yang baik.
Pengelolaan motivasi hal utama yang harus dilakukan dalam upaya peningkatan kompetensi. Tanpa motivasi, jangankan diberi pembelajaran dan pelatihan, diminta studi mandiri atau melalui musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) dan kelompok kerja guru (KKG), diberi uang sekalipun (tunjangan profesi) kompetensi tak meningkat. Perbaikan diri secara berkelanjutan dimungkinkan jika dan hanya jika roh keguruan yang termanifestasi dalam motivasi terbangunkan.
Membangun motivasi dan kinerja harus menyentuh aspek esoterik guru, di antaranya melalui penguatan keterkaitan antara pekerjaan mengajar/mendidik dengan misi dan tujuan hidup guru selaku manusia. Sebagai manusia, pada dasarnya bekerja adalah perwujudan misi dan bakti kepada Sang Pencipta melalui amal kemanusiaan. Para guru harus diajak memberi makna pada pekerjaannya karena ”guru” telah menjadi nasib yang tak terhindarkan, suka atau pun tidak suka. Pemerintah perlu merancang program menggairahkan guru bekerja, bukan membebaninya dengan ketegangan tak perlu atau mendiskreditkannya.
Pelatihan motivasi sudah lazim dilakukan dalam korporasi dan punya landasan teori yang cukup kuat, pendekatan dan metode efektif, serta hasil relatif terukur. Pelatihan guru kita belakangan ini, meski masih acak dan sporadis, mulai mengadopsi motode korporasi menggantikan model ”penataran” yang dipenuhi ceramah membosankan. Pengalaman penulis bertahun-tahun memodifikasi dan menerapkan pelatihan tersebut untuk mengubah pola pikir dan membangun motivasi guru memang efektif dan nyata hasilnya.
Andaikan pelatihan motivasi dan kinerja dijalankan pemerintah dalam sebuah strategi yang sistemik dan tidak bersifat ”proyek” semata, diyakini hasrat guru meningkatkan kompetensinya lambat laun jadi kenyataan.


MENGENAL KEPEMIMPINAN JOKOWI

MENGENAL KEPEMIMPINAN JOKOWI
Negeri ini memerlukan gaya kepemimpinan seperti Joko Widodo- Wali Kota Solo–yang menjadikan jabatannya sebagai milik rakyat, sehingga segala kebijakannya untuk kebaikan rakyat.
”Memimpin adalah menderita,” demikian slogan lama yang menjadi pegangan para pendiri bangsa ini. Mereka berkorban harta dan benda, bahkan jiwa dan raga. Penjara menjadi tempat logis bagi perjuangan mereka. Slogan itu tentu akan selalu relevan, dengan disesuaikan dalam konteks kekinian. Menderita bukan berarti masuk penjara, karena saat ini pemimpin (pusat dan daerah) masuk penjara karena korupsi.
Menderita bisa dipahami sebagai kepekaan pemimpin terhadap penderitaan rakyatnya. Pemimpin seperti ini sensitif atas keluhan, suara hati, dan beratnya hidup yang ditanggung oleh rakyatnya.Dia membuat kebijakan bukan untuk menyingkirkan tapi memberikan jalan keluar yang memanusiakan. Adakah pemimpin seperti itu di negeri ini? Langka, tentu saja.
Tapi,semua sepakat Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi) adalah pemimpin yang seperti itu.Jokowiseakanoasedi tengah krisis kepemimpinan di negeri ini. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang menyadari bahwa jabatan yang diembannya sebagai milik rakyat. Karena itu, pada 2005, Jokowi yang baru dilantik menjadi Wali Kota Solo membentuk tim kecil untuk menyurvei keinginan warga Kota Solo.
Hasilnya: kebanyakan warga Solo ingin pedagang kaki lima yang memenuhi jalan dan taman di pusat kota disingkirkan. Keinginan warga Solo ini beralasan, sebab tiga wali kota sebelumnya angkat tangan menangani para pedagang kaki lima itu. Jokowi bingung, sementara para pedagang kaki lima juga warga Solo. Dia tidak ingin menempuh cara instan dengan mengerahkan Satpol PP untuk mengusir para pedagang kaki lima itu.
Tapi, dia berusaha meluluhkan hati para pedagang dengan strategi “diajak makan” bersama. Maklum,dia adalah seorang pengusaha eksportir mebel selama 18 tahun yang piawai melobi. Dia yakin,seperti halnya dalam bisnis, biasanya jamuan makan yang memuaskan akan disusul dengan tanda tangan kontrak yang bagus. Koordinator pedagang dari 989 pedagang di Banjarsari diundang makan siang di Loji Gandrung, rumah dinas wali kota.
Proses lobi Jokowi tidak selesai dalam satu malam tapi berkali-kali.Jokowi tidak lelah karena dia menyadari butuh waktu lama untuk meyakinkan para pedagang kaki lima bahwa caranya merelokasi baik untuk semua, baik untuk para pedagang kaki lima maupun masyarakat umum. Jokowi sampai harus melakukan “lobi meja makan” sampai 54 kali untuk mengutarakan niatnya bahwa para pedagang akan dipindahkan.
Para pedagang bersedia asal di tempat yang baru tidak kehilangan pembeli. Jokowi tidak menjamin, tapi dia membantu mengiklankan Pasar Klitikan,khusus dibangun untuk relokasi, selama empat bulan di televisi dan media lokal.Tidak hanya itu, Jokowi juga memperlebar jalan akses ke sana dan membuat trayek angkutan kota. Keberhasilan relokasi pertama pedagang kaki lima Banjarsari, memudahkan Jokowi memindahkan para pedagang kaki lima yang lain ke tempat yang layak tanpa merugikan mereka.
Dengan demikian, Jokowi benar-benar membuat kebijakan yang memenuhi keinginan semua warga Solo.Para pedagang dapat tetap berdagang dan warga yang lainnya dapat menikmati ruang terbuka hijau serta tata ruang kota Solo pun menjadibaikdanbersih. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang menjaga semangat rakyatnya agar terus menyala. Dengan sepenuh hati,Jokowi mendukung mobil Kiat Esemka yang menggegerkan negeri ini.

Sementara para tokoh- tokoh lain menyepelekan, Jokowi tetap pada pendiriannya bahwa yang terpenting adalah kebanggaan pada hasil karya anak negeri. Dia mengendarai sendiri mobil Esemka ke Jakarta untuk diuji emisi. Tokoh lain yang sejak semula meragukan Esemka kembali menyindir Jokowi dengan menyebutnya mencari popularitas. Tapi,bagi Jokowi, itulah wujud dari komitmen dukungan terhadap karya anakanak SMK Solo.

Ketika Esemka tak lolos uji emisi, Jokowi kembali menunjukkan kualitasnya sebagai seorang pemimpin. Di hadapan anakanak SMK yang mungkin kecewa, Jokowi membesarkan hati mereka untuk tak putus asa. Itulah dua contoh bagaimana seorang Jokowi memimpin. Kepemimpinannya tentu saja harus menjadi pelajaran bagi para pemimpin yang lain.


Buku karya Zaenuddin HM ini memang tidak dimaksudkan sebagai biografi resmi Jokowi, namun dapat memberikan gambaran umum bagaimana sosok dan keteladanan Jokowi sebagai seorang pemimpin.Keberhasilan Jokowi memimpin dengan sendirinya mendapat pengakuan, baik oleh warga Solo maupun masyarakat Indonesia