PAHLAWAN PENDIDIKAN
DI NEGERI TERCINTA
INDONESIA
Guru merupakan salah satu unsur dalam sistem pendidikan, dan
merupakan unsur terpenting dan terdepan dalam penentuan hasil akhir dari sebuah
proses pembelajaran. Guru berhubungan langsung dengan masa depan sebuah bangsa.
Namun juga guru harus mengikuti sistem yang telah ditetapkan oleh pemerintah
yang masih mengandalkan sisi akademik, namun dari sisi moral kurang tersentuh.
Guru memiliki sifat-sifat dari seorang pahlawan, namun ada
beberapa oknum tertentu yang kurang bisa menyesuaikan diri dengan sifat
pahlawan tersebut, sehingga dalam melakukan pengabdian hanya setengah hati.
Namun itu juga tidak bisa disalahkan, karena sangat manusiawi jika guru
mempunyai kebutuhan hidup.
Akan tetapi masih ada sosok pahlawan dalam hati sanubari
guru yang dengan bermodalkan dedikasi dan semangat yang luar biasa mendidik dan
mengajar siswa dengan gaji yang minim demi kemajuan bangsa. Mereka tidak
mengharapkan gelar. Biarlah Ibu Pertiwi sebagai saksi bisu dan jasa mereka akan
selalu terkenang dalam sanubari anak didiknya. Guru hendaknya tidak hanya
mengajar sekaligus pembelajar, Guru adalah pekerja sosial yang bertugas
mencerdaskan anak didiknya bukan mengutamakan komersil belaka.
Pahlawan jaman dulu berjuang melawan kemerdekaan saat ini
Indonesia sudah merdeka sebagai generasi penerus bangsa kita tinggal meneruskan
cita-cita pahlawan melalui pendidikan. Guru sebagai pejuang pendidikan, mereka
berjuang melawan korupsi dan kolusi melalui tindakan, pengajaran, inovasi.
Metode pengajaran yang hanya satu arah, diubah dengan metode dua arah, dimana
terjadi interaksi antara guru dan murid. Dan tidak hanya mementingkan nilai
akademik saja, namun juga pendidikan moral bermasyarakat.
Mari kita tengok sejenak perjalanan hidup dari salah satu
pahlawan pendidikan yang napak tilasnya terekam hingga diabadikan sebagai Bapak
Pendidikan Indonesia, hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional.
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat lahir di Yogyakarta, 2 Mei
1889 adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan
pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda.
Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang
memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak
pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Tanggal
kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan
Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, “Tut Wuri Handayani”, menjadi slogan
Departemen Pendidikan Nasional.
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton
Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar
Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera),
tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan
wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sediotomo, Midden Java, De Expres,
Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia
tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan
semangat anti kolonial.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif
dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908,
ia aktif di seksi propaganda untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran
masyarakat Jawa pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam
berbangsa dan bernegara. Kongres pertama di Yogyakarta juga diorganisasi
olehnya. Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu
organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan
pemerintahan sendiri di Hindia Belanda.
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan
sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari
Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis,
termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een”
atau “Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga”. Namun kolom yang paling
terkenal adalah “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik eens
Nederlander was”), dimuat dalam surat kabar De Expres tahun 1913. Isi artikel
ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan
tersebut antara lain sebagai berikut :
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan
pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri
kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi
juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana
perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina
mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan
lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung
perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan
ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun
baginya”.
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur
Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan
sendiri). Namun demikian kedua rekannya, Douwes Dekker dan Tjipto
Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda
(1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai “Tiga Serangkai”. Soewardi kala itu
baru berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam
organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan
Hindia). Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi
dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah
pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga
pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide
sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta
pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore.
Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem
pendidikannya sendiri.
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919.
Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman
mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi
sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun
menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar
Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal
ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik
maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat
dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam
bahasa Jawa berbunyi : “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut
wuri handayani” yang berarti di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat,
dari belakang mendukung. Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia
pendidikan rakyat Indonesia.
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, Ki Hadjar
Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia
mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari
universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam
merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional
Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional. Ki Hadjar
Dewantara meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959.
Betapa mulia dan besar jasa seorang guru dalam menyumbang
kemajuan suatu bangsa. Guru disanjung dan dipuja begitu luar biasa karena
diibaratkan sebagai pelita dalam kegelapan, sebagai embun penyejuk dalam
kehausan, dan sebagai patriot pahlawan bangsa. Namun apakah cukup hanya
berhenti pada sekadar sanjungan dan pujian ?
Di zaman yang semakin susah ini, orang tidak akan mampu
hidup hanya dengan sanjungan dan pujian. Gelar “pahlawan tanpa tanda jasa”
tidak mampu memberi hidup yang layak bagi mereka, bahkan justru membebani. Di
zaman ini yang dibutuhkan bukan sekadar sanjungan atau pujian atau gelar, lebih
pada perhatian dan penghargaan atas suatu pengabdian yang begitu luar biasa.
Jika bukan bangsa ini yang memberi apresiasi atau penghargaan yang selayaknya
pada guru, lalu siapa lagi ? Ataukah kita harus berharap pada bangsa lain?
Bukankah sejarah membuktikan bahwa kita tidak bisa berharap terlalu banyak pada
bangsa lain ?
Sungguh ironis, guru yang merupakan profesi yang amat mulia
hanya dianugerahi gelar tanpa tanda jasa, Padahal gurulah yang mengantarkan
manusia-manusia Indonesia menuju kepada keberhasilannya. Ibaratnya pengorbanan
dan jerih payah para guru tidak dapat tergantikan, bahkan dengan penghargaan
sekali pun.
Suhartono (Guru dalam Tinta Emas, 2006:ix} menjelaskan bahwa
kita bisa membaca dan menulis, guru yang mengajarkan. Kita dapat menduduki
jabatan tertentu, guru jugalah yang menghantarkannya. Kita bisa berkreasi atau
berwirausaha, ya tetap gurulah yang mempunyai andil besar. Tanpa guru kita
tidak dapat seperti sekarang ini.
Begitu besar peran seorang guru dalam kehidupan kita. Namun,
ketika kita sudah berhasil meraih impian, kita cenderung melupakan jasa-jasa
guru. Ketika murid-muridnya telah berhasil menjadi presiden, gubernur,
pengusaha, atau apa pun, guru tetaptah guru dengan gaji yang pas-pasan. Yang
berubah dari guru hanyalah usianya yang semakin menua.
Kata-kata “pahlawan tanpa tanda jasa” diterjemahkan sebagai
pengabdian yang tanpa pamrih. Sehingga tidak. mendapat penghargaan atau pun
gaji yang layak tidak melawan atau memberontak. Dengan diberi gelar pahlawan
(dibaca: orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela
kebenaran atau pejuang yang gagah berani), bukankah kata pahlawan mengandung
makna yang luar biasa sehingga mampu menyihir ribuan guru di negeri ini?
Sungguh, kata-kata tersebut seperti senjata makan tuan.
Nasib guru dari dulu sampai saat mi sepertinya tidak
mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan Iwan Fals dalam salah satu lagunya
yang berjudul ‘Oemar Bakrie” mengisahkan tentang nasib guru yang memilukan.
Dalam lagu tersebut digambarkan sesosok guru yang bernama Oemar Baknie, yang
mengabdikan seluruh hidupnya dengan penuh dedikasi sampai usia tua. Meskipun
gajinya yang kecil sering “disunat” sehingga semaikin kecil, namun Oemar Bakrie
tetap semangat mengajar murid-muridnya.
Saat munid-muridnya telah “jadi orang”, sosok guru Oemar
Bakrie tetap saja sederhana kalau tidak boleh dikatakan miskin, dan nasibnya
pun tak kunjung membaik. Di zaman yang serba komputer, serba instan, dan serba
modern mi, nasib guru masih tidak jauh berbeda dengan Oemar Bakrie dalam
gambaran Iwan Fals.
Seharusnya kesejahteraan guru, baik PNS maupun non-PNS
menjadi prioritas perhatian pemerintah. Terlebih para guru yang mengajar di SD
dan SMP. Karena, para guru SD dan SMP merupakan bagian dari program wajib
belajar. Dalam pelaksanaannya program wajib belajar ini pun melibatkan peran
guru non-PNS,. OIeh karena itu, sudah seharusnya jika pemerintah bertanggung
jawab atas kesejahteraan mereka, Sertifikasi yang saat ini tengah hangat
diperbincangkan di kalangan para guru dan dunia pendidikan pada umumnya menjadi
secercah harapan bagi para guru. Meskipun pada kenyataannya proses sertifikasi
itu sendiri menjadi begitu rumit karena banyak sekali komponen atau
syarat-syarat yang harus dipenuhi. Namun demikian bila seorang guru dinyatakan
lulus uji sertifikasi, maka guru tersebut berhak atas tunjangan profesi sebesar
satu kali gaji. Hal tersebut berlaku untuk guru negeri maupun swasta. Tunjangan
bagi para guru yang lulus sertiflkasi tersebut akan diperoleh dari pemerintah.
Kita semua harus menyadari bahwa ujung tombak pendidikan
nasional adalah guru. Bila ujung tombak tersebut tidak mendapat perhatian
sebaik-baiknya, maka tidak mungkin negeri ini akan semakin terpuruk. Keceriaan
para guru menjadi keceriaan bangsa ini.
Sebenarnya siapa saja yang bisa disebut sebagai pahlawan
pendidikan itu ? Teringat akan beberapa sosok pahlawan nasional yang bergerak
di bidang pendidikan dengan tujuan mulia yakni mencerdasakan anak bangsa. Sebut
saja Ki Hajar Dewantara yang merupakan salah satu pelopor pendidikan dengan
mendirikan Taman Siswa dan banyak mengangkat anak-anak bangsa khususnya yang
dari kalangan pribumi. Sedangkan RA Kartini, atau Dewi Sartika juga srikandi di
dunia pendidikan dengan mengangkat harkat dan martabat kaumnya meskipun menghadapi
kendala yakni nilai-nilai yang berlaku di masa mereka yang sangat menentang hal
tersebut.
Apakah semua guru itu adalah pahlawan pendidikan? Tidak
semua orang yang berprofesi sebagai guru itu benar-benar orang yang
mendedikasikan diri untuk memajukan pendidikan bagi sekitarnya. Ada segelintir
yang menjadikan profesi pendidik (dalam kata lain guru) sebagai pelarian
sementara sebelum menemukan pekerjaan yang diidam-idamkannya. Jadi pendek kata
bukan itu panggilan jiwanya, dan pastinya salah satu andilnya adalah
kesejahteraan.
Menyoal kesejahteraan guru, memang hal ini menjadi masalah
utama yang harus dihadapi. Di satu sisi guru di beberapa bagian negeri sudah
menikmati berbagai fasilitas yang memadai seperti tunjangan, sertifikasi dan
lainnya, sementara banyak guru lain yang harus berjuang dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Hingga ada yang setelah mengajar menjadi juru parkir,
pemulung atau mengajar privat dari pintu ke pintu karena penghasilannya yang
tidak memadai. Dari sini kadang kesejahteraan berpengaruh pada kinerja serta
kemaksimalan seorang pendidik dalam menghidupkan lentera ilmu dalam diri
anak-anak didiknya, terlebih jika guru tersebut mengabdi di tempat-tempat
terpencil yang jauh dari fasilitas perkotaan yang memadai dan dengan sarana
prasarana ala kadarnya. Barangkali bila sang pendidik itu tidak mempunyai
gairah kuat dalam dirinya sebagai lentera bagi masyarakatnya, bisa jadi dia
akan pergi dan meninggalkan tempat mengajarnya dalam kegelapan. Namun bersyukur
masih banyak orang-orang yang mengabdikan dirinya sebagai pendidik di
tempat-tempat yang jauh seperti di pedalaman, mereka melakukan segalanya
melalui kendala dan keterbatasannya dengan satu misi, yakni mencerdaskan serta
memberi sinar terang bagi daerah yang ditempatinya.
Program Indonesia Mengajar, dimana programnya menempatkan
muda-mudi terpilih untuk mengajar di berbagai wilayah di seluruh Indonesia,
juga menjadi salah satu program untuk mencerdaskan anak-anak bangsa utamanya di
kawasan terpencil. Para pengajar muda ini ditempatkan di berbagai sekolah
diseluruh Indonesia untuk mengajar selama satu tahun, dan diutamakan kawasan
yang sulit dijangkau fasilitas perkotaan, dan tentunya hanya dipilih yang
benar-benar punya integritas tinggi tanpa pamrih untuk mengabdi pada daerah
yang jadi pilihan. Walaupun mungkin masih belum seperti para guru yang rela
menempuh jarak berkilo-kilo demi mencapai sekolahnya dengan rasa rela dan ridha
untuk berbagi.
Profesi pendidik sekali lagi merupakan profesi yang sangat
mulia, karena dari pendidiklah semua profesi dicetak. Mau jadi ekonom,
agamawan, ilmuwan, astronom dan lain-lainnya semua itu takkan ada bila tidak
ada yang mendidiknya dan itu merupakan proses getok tular yang terus menerus
dan takkan berhenti.
Saya sadar kalau tidak semua pendidik itu bisa disebut
sebagai pahlawan pendidikan. Karena seperti yang telah saya tulis sebelumnya,
tidak semua orang yang jadi pendidik itu benar-benar berjiwa pendidik, siap
mendidik dan juga dididik. Sementara gelar pahlawan pendidikan itu bukanlah
penggelaran dari diri pendidik itu sendiri, melainkan diberikan oleh orang
sekitarnya, yang merasakan kiprah sosok ini dalam memajukan daerahnya. Bukan
sekedar mendidik, tapi juga memberi kontribusi sekecil apapun itu bagi dunia
pendidikan.
Meskipun mungkin dia bukanlah seperti Ki Hadjar Dewantara,
RA Kartini atau bahkan selevel Dewi Sartika, masyarakat yang memberi penilaian.
Semoga para guru diseluruh Indonesia dan dimanapun mereka berada bisa lebih
meneladani sosok pahlawan pendidikan yang telah memberi warna bagi kemajuan pendidikan
di negeri yang masih berkutat dengan segala permasalahan yang ada saat ini.
Pemerintah Indonesia seharusnya meningkatkan pendidikan di
seluruh daerah di Indonesia. Peningkatan harus dilakukan merata dan tidak
condong ke beberapa daerah saja. Sayangnya, masih banyak daerah di Indonesia
yang dianak-tirikan oleh pemerintahan di pusat. Mereka merasa tidak mendapat
perhatian yang layak, dan itu terlihat jelas dari pendidikan di daerah mereka
yang masih jauh ketinggalan. Salah satu daerah yang mengeluh tersebut adalah
Papua.
Kemakmuran seakan-akan jauh dari Bumi Cendrawasih.
Kemiskinan berada di setiap penjuru desa. Fasilitas kesehatan masih sangat
minim didapat di sana. Sarana prasarana umum tidak diperhatikan dengan baik
oleh pemerintah. Pendidikan yang tidak merata pun semakin melengkapi
penderitaan masyarakat. Rakyat Papua sulit untuk melangkah maju membangun
daerahnya karena rendahnya tingkat pendidikan. Kemerdekaan sepertinya masih
menjadi mimpi bagi banyak orang disana. Mereka masih merasa hanya sebagai
penumpang di tanah sendiri.
Beruntung, Papua masih memiliki beberapa orang pahlawan
pendidikan yang berusaha untuk membangkitkan Sang Mutiara Hitam dari tidurnya.
Beberapa mereka seperti Johannes Surya dan Daniel Alexander. Ketimbang memilih
kenikmatan pelayanan di perkotaan, mereka lebih memilih untuk melangkahkan kaki
mereka di jalanan rusak desa-desa di Papua. Tanpa memandang suku, ras, dan
agama, mereka berusaha meningkatkan taraf kehidupan di daerah Papua. Dan
menurut mereka, salah satu aspek kunci dari kemajuan Papua adalah kecerdasan
dari rakyatnya. Oleh karena itu, kedua orang ini berfokus mengembangkan
pendidikan di daerah tersebut.
Ketidakadilan masih bersembunyi di banyak pelosok daerah.
Kemiskinan selalu menjadi momok yang harus dihadapi rakyat. Pendidikan terus
menjadi mimpi yang sulit diraih oleh banyak anak-anak Indonesia. Papua dan
daerah-daerah tertinggal lainnya masih membutuhkan para pahlawan pendidikan
lainnya yang mau menjejakkan kakinya di tanah berlumpur pedesaan; berani
meninggalkan kemapanan demi kemajuan daerah-daerah tertinggal.
Sebutan pahlawan biasanya hanya diberikan kepada seseorang
yang telah berjasa kepada orang lain. Seseorang yang berjuang, bahkan juga
berkorban hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, sekalipun sukses, mereka
tidak akan pernah disebut sebagai pahlawan. Tidak pernah ada pahlawan untuk
dirinya sendiri. Pahlawan selalu dikaitkan dengan jasa yang diberikan kepada
orang lain.
Ada berbagai jenis atau tingkat kepehlawanan. Orang-orang
yang berjuang dan berkorban untuk kepentingan bangsa dan negaranya, maka mereka
itu disebut sebagai pahlawan bangsa. Bagi mereka yang berjasa hingga diakui
oleh kalangan luas dan bahkan oleh pemerintah, maka tatkala meninggal
dimakamkan pada tempat tersendiri, yang kemudian tempat itu disebut sebagai
taman makam pahlawan.
Cara tersebut dilakukan adalah sebagai tanda penghormatan
kepada yang bersangkutan, dan sekaligus juga agar menjadi tauladan bagi
berbagai generasi setelahnya. Prestasi, keberhasilan, kebesaran terkait dengan
apa saja, selalu diperoleh dari perjuangan yang tidak sederhana. Perjuangan itu
bahkan juga memerlukan pengorbanan. Tidak pernah ada keberhasilan yang
diperoleh secara gratis atau tanpa usaha.
Bangsa Indonesia menjadi merdeka seperti sekarang ini adalah
merupakan buah dari perjuangan dan pengorbanan para pahlawannya. Mereka itu
telah mengorbankan apa saja yang dimiliki untuk meraih kemerdekaan, baik
pengorbanan itu berupa harta, tenaga, dan bahkan jiwanya. Ribuan orang mati,
atau cacat tubuh, oleh karena berjuang merebut kemerdekaan.
Namun pahlawan tidak selalu diartikan dalam lingkup besar
sebagaimana dicontohkan di muka. Tetapi benar, bahwa sebutan pahlawan selalu
dikaitkan dengan perjuangan dan pengorbanan. Perjuangan itu bisa dilakukan di
dalam berbagai bidang, misalnya dalam bidang pendidikan, ekonomi, kebudayaan,
seni, agama, dan lain-lain. Para perjuang masing di-masing bidang dimaksud
telah melahirkan berbagai jenis pahlawannya. Oleh karena itu muncul sebutan
pahlawan pendidikan, pahlawan gerakan sosial, budaya, politik, dan lain-lain.
Ada juga sebutan pahlawan dalam pengertian terbatas,
misalnya dalam lingkup keluarga. Seorang ibu dan ayah adalah menjadi pahlawan
bagi para anak-anak dan cucunya. Mereka itu telah berjuang dan berkorban untuk
mengantarkan mereka meraih keberhasilan hidup. Itulah sebabnya, sering kita
mendengar ucapan seseorang dengan mengatakan bahwa, ibu atau ayahnya sendiri
adalah pahlawannya. Penyebutan itu tentu dimaskudkan untuk memberikan
penghargaan, bentuk rasa terima kasih, dan rasa syukur yang mendalam atas jasa
yang telah diterimanya.
Betapa pentingnya dalam hidup ini agar seseorang berbuat dan
bekerja, bukan saja untuk dirinya sendiri, tetapi seharusnya juga untuk orang
lain, maka hingga ukuran terbaik bagi seseorang ternyata dilihat dari seberapa
besar yang bersangkutan mampu memberi manfaat bagi orang lain. Selanjutnya,
supaya bisa memberi manfaat, maka siapapun harus berjuang dan sekaligus
berkorban.
Hidup, jangan sampai hanya menjadi orang yang diperjuangkan,
tetapi sebaliknya, ialah harus menjadi pejuang. Disebutkan bahwa, tangan di
atas adalah lebih baik daripada tangan di bawah. Maka agar pesan dimaksud bisa
ditunaikan, maka sebagai manusia seharusnya lebih berkualitas, baik dalam ilmu
pengetahuan, ekonomi, politik, pendidikan, teknologi, sosial, dan lain-lain.
Perjuangan itu manakala dilakukan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, maka
pelakunya akan tercatat sebagai pahlawan, yaitu posisi yang sangat ideal dalam
kehidupan ini.
hay bosku anda bingung mencari bandar togel
BalasHapusyuk bergabung bersama kami di togel pelangi
togel terbaik dan terpecaya 100% aman
http://www.togelpelangi.com/