PEMBUDAYAAN
NILAI-NILAI LUHUR PANCASILA MELALUI PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
Penulisan makalah ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana melembagakan nilai-nilai luhur Pancasila melalui
pendidikan kewarganegaraan . Metode penulisan menggunakan penelitian perpustakaan
. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai Pancasila
akulturasi antara warga muda sekarang dapat dilakukan melalui proses pendidikan
. Pendidikan yang tepat adalah pendidikan Pancasila yang dapat dilakukan dengan
Pendidikan Kewarganegaraan . Namun, karena bahan muatan Pancasila dalam PKn
belum mencakup seluruh Pancasila sebagai kompetensi dasar dan bangsa idologi ,
Pancasila sesuai dengan mata pelajaran pendidikan / kursus dikhususkan untuk
Pancasila dalam belajar yang tepat melalui mata pelajaran / kursus di
pendidikan khusus Pancasila .
Kata kunci : Pancasila dan pendidikan
kewarganegaraan
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pancasila sebagaimana ditetapkan PPKI sebagai Dasar
Negara Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945 paling tidak memiliki dua fungsi
yaitu pertama sebagai simbol yang mengukuhkan pendirian negara modern
Indonesia yang merdeka. Ia menjadi tanda kesepakatan pendirian republik modern
dimana di dalamnya bernaung berbagai kelompok, suku agama, dan wilayah. Di sini
Pancasila bersifat pragmatis dalam arti ia sengaja dipilih untuk menjamin suatu
kesatuan dan integrasi politik yang bernama Republik Indonesia. Kedudukan ini
secara mencolok nampak dalam penetapan kembali sila-sila Pancasila ke dalam Pembukaan
UUD 1945. Artinya, Pancasila harus dilihat sebagai visi bersama bagi
pencapaian-pencapaian tujuan negara yang diperjuangkan. Yang kedua,
Pancasila juga dikukuhkan sebagai wawasan politik atau ideologi negara. Posisi
semacam ini tak pelak menjadikan Pancasila sebagai arena yang terbuka terhadap
pemaknaan politik. Pemaknaan terhadap Pancasila terus berkembang dan berubah
sesuai dengan konteks historis pada suatu masa tertentu. Pada masa demokrasi
parlementer (liberal) misalnya, Pancasila merupakan rujukan bagi pelaksanaan
praktik system pemerintahan liberal. Pada masa demokrasi terpimpin, Pancasila merupakan
landasan bagi praktek politik nasakom, ekonomitermpimpin dan demokrasi
terpimpin. Sedangkan pada masa Orde Baru, Pancasila dimaknai sebagai dasar bagi
pembangunan ekonomi dan stabilitas politik yang antikomunis sekaligus juga
antilberal. Artinya Pancasila merupakan musuh utama dari paham/aliran komunisme
dan liberal dalam pengertian politik, sementara pada masa demokrasi terpimpin,
Pancasila adalah pengayom bagi semua pemikiran dan ideologi termasuk agama,
nasionalisme Selama masa Indonesia
merdeka, Pancasila merupakan empty signifier, penanda tanpa petanda, signified
tanpa signifier. Artinya, Pancasila terus menerus dimaknai, tanpa
adanya pemaknaan yang tetap dan abadi (fixed). Pancasila merupakan empty
signifier bagi kontestasi pemaknaan dan simbolisasi dalam partikularitas
suatu rentang waktu. Tiap kekuasaan pada suatu waktu, menggunakan kekuasaannya
untuk memaknai Pancasila, dan menjadikannya diskursus hegemonik. Seiring
runtuhnya kekuasaan suatu rezim, runtuh pulalah sistem pemaknaan dan
simbolisasi terhadap Pancasila, diisi dengan pemaknaan baru, dan diskursus
hegemonik baru, menggantikan yang sebelumnya, dan terus menerus. Sebagai dasar
negara, Pancasila yang digali dari budaya dan pengalaman kehidupan masyarakat
Indonesia didesain sebagai rujukan bagi para penyelenggara negara dan segenap
warga negara dalam melaksanakan aktivitas kehidupannya dalam berbagai bidang
dan aspeknya. Namun realitas menunjukkan pemaknaan nilai-nilai Pancasila
semakin jauh dimiliki oleh setiap warga negara. Dalam pidato politik berkaitan
dengan peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni Tahun 2006 yang lalu, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mensinyalir adanya keengganan bangsa kita untuk
berbicara tentang Pancasila, seperti penegasan berikut: “….Kita merasakan,
dalam delapan tahun terakhir ini, di tengahtengah gerak reformasi dan
demokratisasi yang berlangsung di negara kita, terkadang kita kurang berani,
kita menahan diri, untuk mengucapkan katakata semacam Pancasila, UUD 1945, NKRI,
Bhinneka Tunggal Ika, Wawasan Kebangsaan, Kebangsaan, Stabilitas, Pembangunan, Kemajemukan,
dan lainlain, karena bisa dianggap tidak sejalan dengan gerak reformasi dan demokratisasi.
Bisa-bisa dianggap tidak reformis…” (Yudhoyono, 2006:xv) Apa yang disinyalir
oleh Presiden SBY sebagaimana diutarakan di atas, tentu bukan tanpa
argumentasi. Betapa tidak, tatkala euforia reformasi melanda negeri kita, juga
diiringi dengan perubahan lingkungan strategis nasional, regional, maupun
global yang terjadi dalam eskalasi yang cepat, ternyata tidak
diikuti
dengan penyikapan secara proporsional oleh segenap warga Negara dalam memandang
keberhasilan reformasi tersebut. Sikap dan perilaku tidak proporsional tersebut
antara lain terejawantahkan melalui tuntutan kebebasan yang tak terbatas.
Secara akumulatif, sikap dan tindakan aproporsional itu ternyata telah mampu menggerus
rasa kebangsaan, paham kebangsaan, dan semangat kebangsaan, yang berujung pada
keengganan komponen bangsa kita; pelajar, mahasiswa, generasi muda, pengusaha, tak
terkecuali kalangan aparatur pemerintah sendiri, untuk membicarakan Pancasila. Apa
penyebab tindakan aproporsional tersebut? Menurut Somantri (2006) Pancasila
mempunyai stigma karena sepak terjang rezim otoriter Orde Lama maupun Orde
Baru. Orde Lama menggiring Pancasila pada ortodoksi ideologis Manipol-Usdek
bahkan konsepsi simplistik Nasakom. Sementara Orde Baru memerosokkan Pancasila
pada jeram mistifikasi dan ideologisasi monologis Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4) dan asas tunggal. Sehingga Pancasila yang di awal
kelahirannya secara eksistensialis ibarat sebuah keajaiban yang maujud,
kemudian di era reformasi hampir dilupakan dan dianggap ideologi kalah, bahkan analog
dengan rezim Orde Baru itu sendiri. Padahal Pancasila bukanlah milik sebuah
rezim tertentu. Ia secara substansialis dirumuskan sebagai grundsnorm bagi
konsensus untuk merekatkan aneka ragam kelompok masyarakat kepulauan yang besar
jumlahnya, berbeda-beda dan hidup di kawasan yang luas, untuk berdiri tegak di
wilayah Negara kesatuan bernama Indonesia. Kelekatan rezim Orde Baru dengan
mistifikasi dan ideologisasi Pancasila membawa implikasi penistaan Pancasila
tatkala rezim berganti (Somantri, 2006). Pergantian rezim berimplikasi pada
skenario demistifikasi dan pengenyahan Pancasila yang menyertakan penanggalan
simbol, bahasa, dan instrumen-instrumen politik rezim Orde Baru. Tidak
terkecuali dalam politik pendidikan. Pendidikan Pancasila yang sejatinya
menjadi alat untuk proses pembudayaan dan pelembagaan nilai-nilai Pancasila
direduksi dengan dalih integrasi ke dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Persoalannya
kemudian adalah bagaimana memaknai dan menempatkan Pancasila setelah
pemaknaannya oleh Orde Baru runtuh? Bagaimana pula membudayakan dan
melembagakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
era reformasi sekarang? Tidak dapat dipungkiri bahwa baik sebagai sebuah perjanjian
yang memateraikan pendirian republik, dan sebagai ideologi bangsa, nilai-nilai Pancasila
berada jauh dengan implementasinya.
1.2.
Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana pembudayaan nilai-nilai luhur pancasila melalui pendidikan
kewarganegaraan.
II.
Uraian Teoritis
2.1.
Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Pancasila sebagaimana di rumuskan oleh penggalinya
adalah pandangan hidup yang muncul dalam mengenali realitas sosio-politik
bangsa Indonesia. Pancasila adalah upaya dan muara yang paling mungkin untuk disepakati
dari beragamnya aspek plural kehidupan masyarkata Indonesia. Rumusan Pancasila
sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alinea IV, terdiri atas lima
sila, asas atau prinsip yaitu:
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.
Persatuan Indonesia
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Sedangkan
secara entitas, Pancasila itu sendiri pada hakekatnya ia adalah nilai (Kaelan,
2002). Nilai atau value adalah sesuatu yang berharga, berguna bagi
kehidupan manusia. Nilai memiliki sifat sebagai realitas yang abstrak, normatif
dan berguna sebagai pendorong tindakan manusia. Kelima sila, asas atau prinsip Pancasila
di atas dapat dikristalisasikan ke dalam lima nilai dasar yaitu nilai
KeTuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Pancasila yang
berisi lima nilai dasar itu ditetapkan oleh bangsa Indonesiasebagai dasar
negara dan ideologi nasional Indonesia sejak tahun 1945 yaitu ketika ditetapkan
Pembukaan UUD NRI oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Kedudukannya
sebagai dasar negara dan ideologi nasional ini dikuatkan kembali melalui
Ketetapan MPR RI No. XVIII/ MPR/1998 yang mencabut Ketetapan MPR No.
II/MPR/1978 tentang P4 sekaligus secara eksplisit menetapkan Pancasila sebagai
dasar Negara (Yudhoyono, 2006:xvi). Pancasila sebagai dasar negara berkonotasi
yuridis, sedang Pancasila sebagai ideologi dikonotasikan sebagai program sosial
politik (Mahfud MD, 1998 dalam Winarno, 2010). Pancasila telah menjadi dasar
filsafatM negara baik secara yuridis dan politis (Kaelan, 2007:12).
Pancasila sebagai dasar Negara dapat ditinjau dari
aspek filosofis dan yuridis. Dari aspek filosofis, Pancasila menjadi pijakan
bagi penyelenggaraan bernegara yang dikristalisasikan dari nilainilainya. Dari
apek yuridis, Pancasila sebagai dasar negara menjadi cita hokum (rechtside)
yang harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia. Politik pembangunan
hukum di Indonesia dengan kerangka nilai Pancasila memiliki kaidah kaidah
penuntunnya. Pancasila sebagai sumber dan kaidah penuntun hukum itu selanjutnya
dituangkan di dalam peraturan perundangundangan sebagai sumber hukum formal. Jalinan
nilai nilai dasar Pancasila dijabarkan dalam aturan dasar (hokum dasar) yaitu
UUD 1945 dalam bentuk pasal-pasal yang mencakup berbagai segi kehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia. Aturan-aturan dasar dalam UUD 1945
selanjutnya dijabarkan lagi dalam undang-undang dan peraturan dibawahnya.
Hieraki hukum Indonesia yang terbentuk ini berbentuk piramida yang dapat
dilihat dan sejalan dengan Stufenbautheorie (teori jenjang norma) dari
Hans Kelsen, dimana Pancasila sebagai Grundsnorm berada di luar system hukum,
bersifat meta yuristic tetapi menjadi tempat bergantungnya norma hokum Pada
posisinya sebagai ideology nasional, nilai-nilai Pancasila difungsikansebagai
nilai bersama yang ideal dan nilaipemersatu. Hal ini sejalan dengan fungsi ideologi
di masyarakat yaitu: Pertama, sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai
secara bersama oleh suatu masyarakat. Kedua, sebagai pemersatu masyarakat
dan karenanya sebagai prosedur penyelesaian konflik yang terjadi di masyarakat
(Ramlan Surbakti, 1999 dalam Winarno, 2010). Dalam kaitannya dengan yang
pertama nilai dalam ideology itu menjadi cita-cita atau tujuan dari masyarakat.
Tujuan hidup bermasyarakat adalah untuk mencapai terwujudnya nilainilai dalam
ideologi itu. Sedangkan dalam kaitannya yang kedua, nilai dalam ideologi itu merupakan
nilai yang disepakati bersama sehingga dapat mempersatukan masyarakat itu serta
nilai bersama tersebut dijadikan acuan bagi penyelesaian suatu masalah yang mungkin
timbul dalam kehidupan
masyarakat
yang bersangkutan. Pancasila sebagai ideologi nasional ini dapat dipandang dari
sisi filosofis dan politis. Dari aspek filosofis, nilai-nilai Pancasila menjadi
dasar keyakinan tentang masyarakat yang dicita-citakan (fungsi pertama
ideologi). Dari aspek politik Pancasila merupakan modus vivendi atau kesepakatan
luhur yang mampu mempersatukan masyarakat Indonesia yang majemuk dalam satu nation
state atas dasar prinsip persatuan (fungsi kedua ideologi). Pancasila
menjadi nilai bersama atau nilai integratif yang amat diperlukan bagi
masyarakat yang plural.
2.2.
Pancasila dalam Politik Pendidikan Nasional
Dalam konteks pendidikan nasional, tidak dapat
dipungkiri bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsamengalami fluktuasi tafsiran
dari setiap rezim yang berkuasa, bukan hanya masa orde baru yang selama ini
kita anggap sebagai rezim yang paling getol memberikan tafsir tetapi juga sudah
dimulai sejak rezim pemerintahan presiden Soekarno pada masa orde lama (Samsuri,
2009). Pada tahun 1959/1960-an ketika gegap gempita Demokrasi Terpimpin begitu
kuat di panggung politik ketika itu, telah diperkenalkan mata pelajaran Civics
dalam dunia pendidikan Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya satu buku
terbitan Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K) yang
berjudul “Civics: Manusia Indonesia Baru,” karangan Mr. Soepardo, dkk. Materi
buku itu berisi tentang Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia; Pancasila; UUD
1945; Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin; Konferensi Asia-Afrika, Hak dan Kewajiban
Warga Negara, Manifesto Politik; Laksana Malaikat; dan lampiranlampiran Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, Pidato Lahirnya Pancasila, Panca Wardana, dan Declaration
of Human Rights; serta pidato-pidato lainnya dari Presiden Sukarno
dalam “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi” (Tubapi) (Muchson, 2004:30). Buku
“Civics” dan Tubapi tersebut kemudian menjadi sumber utama mata pelajaran
pendidikan kewarganegaraan di sekolah-sekolah, dengan ciri indoktrinasi yang
sangat dominan.
Perkembangan berikutnya, mata pelajaran “Civics”
yang kemudian diganti menjadi “Kewargaan Negara” pada 1962, pada Kurikulum 1968
ditetapkan secara resmi menjadi “Pendidikan KewargaanNegara.” Di dalam
kurikulum ini, penjabaran ideologi Pancasila sebagai pokok bahasan dianggap
mengedepankan kajian tata negara dan sejarah perjuangan bangsa, sedangkan aspek
moralnya belum nampak (Aman, dkk., 1982:11).
Pada masa orde baru, tafsir ideologis negara dalam
bidang pendidikan mulai menampakkan kekuatannya ketika secara formal, GBHN 1973
menyebut perlunya: “Kurikulum di semua tingkat pendidikan…berisikan Pendidikan
Moral Pancasila….” Apabila dicermati, Nampak jelas bahwa Pancasila ditafsirkan
dalam masing-masing pokok bahasan, sub pokok bahasan, dan bahan pengajaran,
dengan nuansa Civics Kurikulum 1968. Materi tafsir ideologi nasional dalam MPR telah menetapkan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4). P4 ini mengharuskan setiap warga negara dan aparatur
negara untuk melaksanakannya. Dalam lapangan pendidikan, P4 ini menjadi “roh”
dan “mata air” dari mata pelajaran PMP sampai dengan diubah namanya menjadi Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada Kurikulum 1994. Istilah PPKn lebih
dikuatkan dan ditegaskan dengan keluarnya keputusan Mendikbud No. 061/U/1993
tenang Kurikulum Pendidikan Dasar dan Kurikulum Sekolah Menengah Umum yang
antara lain menyebutkan bahwa PPKn adalah mata pelajaran yang digunakan untuk
wahana mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada
budaya bangsa Indonesia.
Selama periode Orde Baru, pendidikan sebagai instrument
pembentukan karakter warga Negara menampakkan wujudnya dalam standarisasi
karakter warga negara. Yang disajikan dalam mata pelajaran PMP dan atau PPKn
dengan memasukan secara membabi-buta tafsir Pancasila menurut P4. Pancasila
direduksi menjadi 36 butir tafsir pengamalan nilai-nilai Pancasila. P4 inilah
yang kemudian menjadi keharusan pedoman atau arah tingkah laku warga negara. Meskipun
Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 Pasal 1 menjelaskan bahwa “Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai Dasar Negara
sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh dan
Penjelasannya,” tetapi P4 menjadi kelihatan lebih penting dari Pancasila itu
sendiri. Lebih jauh, P4 dan Pancasila menjadi “kata sakti” dalam segenap
kesempatan pejabat dari tingkat pusat hingga lokal dalam forum-forum formal
maupun non formal (Samsuri, 2009).
Dari gambaran tersebut, nilai-nilai yang menjadi
materi pokok pembelajaran PMP ataupun PPKn berasal dari “atas” (rejim yang
sedang berkuasa), bukan dari kehendak masyarakat pendidikan (arus bawah).
Konsekuensinya nilai-nilai yang menjadi model materi pembelajaran pun cenderung
hipokrit dan jauh dari aspirasiilmiah (keilmuan), sehingga PMP ataupun PPKn
terkesan tidak jauh beda dengan mata pelajaran Civics atau pun Kewargaan
Negara
pada masa rejim Soekarno 1960an (Samsuri, 2009).
Dewasa ini, sejalan dengan berlakunya UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka mata pelajaran PPKn diganti
dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang
standar isi, mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan diartikan sebagai Mata
pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga
negara
yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi
warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan
oleh Pancasila dan UUD 1945 (Permendiknas RI No. 22 Tahun 2006). Tujuan PKn ini
adalah untuk mewujudkan para siswa untuk memiliki kemampuan:
1.
Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.
2.
Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas
dalam kegiatan
bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi.
3.
Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan
bangsa-bangsa lainnya.
4.
Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung
atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
(Lampiran Permendiknas RI No. 22 Tahun 2006:272, 280, 287).
Untuk mencapai tujuan pembelajaran PKn tersebut,
delapan materi pokok standar isi mata pelajaran PKn di Indonesia untuk satuan
pendidikan dasar dan menengah memuat komponen sebagai berikut: (1) Persatuan
dan Kesatuan Bangsa; (2) Norma, Hukum dan Peraturan; (3) Hak Asasi Manusia; (4)
Kebutuhan Warga Negara; (5) Konstitusi Negara; (6) Kekuasan dan Politik; (7) Pancasila;
dan, (8) Globalisasi. Menurut Samsuri (2011), jika dipilah-pilah dari kedelapan
materi pokok ke dalam standar kompetensi dan kompetensi dasarnya, maka dimensi
pembelajarannya mencakup aspek kajian (1) Politik Ketatanegaraan; (2) Hukum dan
Konstitusi; dan, (3) Nilai Moral Pancasila. Sedangkan untuk materi tentang
Pancasila menurut ketentuan standar isi tersebut dijabarkan ke dalam beberapa
sub materi, yaitu: (1) Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi
negara, (2) Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, (3) Pengamalan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, dan (4) Pancasila sebagai
ideologi terbuka. Pada jenjang perguruan tinggi, pernah ada mata kuliah Manipol
dan mUSDEK, Pancasila dan UUD 1945 (sekitar tahun 1960-an), Filsafat Pancasila (tahun
1970-an sampai sekarang), Pendidikan Kewiraan (1989-1990-an) dan Pendidikan
Kewarganegaraan (2000 sampai sekarang). Proses pembelajaran Pendidikan
Pancasila yang dijadikan rujukan dalam proses pembudayaan nilainilai Pancasila
di kalangan mahasiswa cenderung bersifat indoktrinatif yang hanya menyentuh
aspek kognitif sedangkan aspek sikap dan perilaku belum tersentuh (Cipto, at
all, 2002:ix). Substansi mata kuliah Kewiraan sebagai pendidikan bela
negara direvisi dan selanjutnya namanya diganti menjadi PKn berdasarkan
Keputusan Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum.
Substansi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan makin disempurnakan dengan
keluarnya Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 dan Surat Keputusan
Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Ramburambu Pelaksanaan Mata Kuliah pengembangan
Kepribadian di Perguruan Tinggi. Menurut Pasal 3 Keputusan Dirjen Dikti
tersebut, PKn dirancang untuk memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang
pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga negara
serta pendidikan pendahuluan bela Negara sebagai bekal agar menjadi warga Negara
yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Sedangkan dalam Pasal 4 Keputusan
Dirjen Dikti tersebut menyebutkan bahwa tujuan PKn di perguruan tinggi adalah
sebagai berikut:
1.
Dapat memahami dan mampu melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur
dan demokratis serta ikhlas sebagai warga negara terdidik dalam kehidupannya
selaku warga Negara republik Indonesia yang bertanggung jawab.
2.
Menguasai pengetahuan dan pemahaman tentang beragam masalah dasar kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang hendak diatasi dengan penerapan pemikiran yang berlandaskan
pancasila, wawasan nusantara dan ketahanan nasional secara kritis dan
bertanggung jawab.
3.
Mempupuk sikap dan perilaku yang sesuai denan nilai-nilai kejuangan serta
patriotisme yang cinta tanah air, rela berkorban bagi nusa dan bangsa. Berdasarkan
Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 obyek pembahasan Pendidikan
kewarganegaraan ialah: Filsafat Pencasila, Identitas Nasional, Negara dan
Konstitusi, Demokrasi Indonesia, HAM dan Rule of Law, Hak dan
Kewajiban Warga Negara, Geopolitik Indonesia, dan Geostrategi Indonesia. Dengan
demikian, jika dicermati pendidikan kewarganearaan di perguruan tinggi memuat
kajian Pancasila yaitu dalam bab Filsafat Pancasila yang dikembangkan menjadi
beberapa sub bab.
PEMBAHASAN
Berdasarkan kajian Pancasila dalam politik
pendidikan di atas, kita menemukan bahwa proses pembudayaan nilai-nilai
Pancasila dapat dilakukan melalui pembelajaran PKn. Secara umum hasil-hasil penelitian
tentang PKn di berbagai negara sesungguhnya menyimpulkan bahwa PKn mengarahkan warga
negara itu untuk mendalami kembali nilai-nilai dasar, sejarah, dan masa depan
bangsa bersangkutan sesuai dengan nilai-nilai paling fundamental yang dianut
bangsa bersangkutan.
Dari perspektif teori fungsionalisme struktural,
sebuah Negara bangsa yang majemuk seperti Indonesia membutuhkan nilai bersama
yang dapat dijadikan nilai pengikat integrasi (integrative value), titik
temu (common denominator), jati diri bangsa (national identity)
dan sekaligus nilai yang dianggap baik untuk diwujudkan (ideal value).
Nilai bersama ini tidak hanya diterima tetapi juga dihayati. Dalam pandangan
teori kewarganegaraan communitarian, sebuah komunitas politik bertanggung
jawab memelihara nilai-nilai bersama (common values) tersebut dalam rangka
mengarahkan individu (Winarno, 2010). Melalui PKn nilai-nilai bersama yang
merupakan komitmen sebuah komunitas diinternalisasikan sehingga tumbuh
penghayatan terhadapnya.
Dalam kepustakaan asing ada dua istilah teknis yang
dapat diterjemahkan menjadi pendidikan kewarganegaraan yakni civic education
dan citizenship education. Cogan (1999:4) mengartikan civic
education sebagai “…the foundational course work in school designed
to prepare young citizens for an active role in their communities in
their adult lives”, atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang
dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa
dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Sedangkan citizenship education atau
education for citizenship oleh Cogan (1999:4) digunakan sebagai
istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup “…both these
in-school experiences as well as out-of school or nonformal/ informal
learning which takes place in the family, the religious organization,
community organizations, the media,etc which help to shape the totality
of the citizen”.Di sisi lain, David Kerr (1999) mengemukakan bahwa Citizenship
or Civics Education is construed broadly to encompass the preparation of young
people for their roles and responsibilities as citizens and, in
particular, the role ofeducation (through schooling, teaching
and
learning) in that preparatory process.(Kerr, 1999:2) atau
PKn dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda untuk
mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara khusus,
peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar dalam
proses penyiapan warganegara tersebut. Dari pendapat di atas, dapat dikemukakan
bahwa istilah citizenship education lebih luas cakupan
pengertiannya daripada civic education.
Dengan cakupan yang luas ini maka citizenship
education meliputi di dalamnya PKn dalam arti khusus (civic education).
Citizenship education sebagai proses pendidikan dalam rangka menyiapkan
warga negara muda akan hak-hak, peran dan tanggung jawabnya sebagai warga
negara, sedang civic education adalah citizenship education yang
dilakukan melalui persekolahan. Untuk konteks di Indonesia, citizenship
education atau civic education dalam arti luas oleh beberapa pakar diterjemahkan
dengan istilah pendidikan kewarganegaraan (Somantri, 2001; Winataputra, 2001)
atau pendidikan kewargaan (Azra, 2002). Secara terminologis, PKn diartikan
sebagai pendidikan politik yang yang focus materinya peranan warga negara dalam
kehidupan bernegara yang kesemuanya itu diproses dalam rangka untuk membina peranan
tersebut sesuai dengan ketentuan Pancasila dan UUD 1945 agar menjadi warga
negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara (Cholisin, 2000 dalam Samsuri,
2011). Dilihat secara yuridis, kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi
wajib memuat PKn yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia
yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air sesuai dengan Pancasila dan
UUD 1945. Dalam pasal 37 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa “kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a) Pendidikan Agama, b) Pendidikan
Kewarganegaraan, c) Bahasa…” dan “kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a)
Pendidikan Agama; b) Pendidikan Kewarganegaraan; c) Bahasa.” Dengan demikian,
secara yuridis, pendidikan kewarganegaraan memiliki landasan yang kuat untuk
dibelajarkan kepada setiap warga negara. Sekaitan dengan penanaman nilainilai Pancasila
melalui pendidikan kewarganegaraan, Arief Rahman, Duta UNESCO untuk Indonesia
sekaligus pengamat pendidikan mengemukakan bahwa penanaman ideologi Pancasila
saat ini dapat diterapkan melalui Pendidikan Kewarganegaraan (anonim, 2011).
Namun lebih lanjut ia mengemukakan bahwa agar ideologi tersebut dapat berjalan
maksimal maka perlu diperhatikan proses pembelajarannya. Dalam setiap proses pembelajaran
harus meliputi tiga aspek, yakni kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan
psikomotor (pengalaman). Begitu pula dengan penanaman ideology Pancasila dalam
pelajaran pendidikan Kewarganegaraan, ketiga aspek tersebut harus dijalankan
secara seimbang (anonim, 2011).
PENUTUP
Pembudayaan
nilai-nilai Pancasila di kalangan warga negara muda saat ini dapat dilakukan
melalui proses pendidikan. Pendidikan yang tepat adalah pendidikan tentang
Pancasila yang dapat dilakukan oleh Pendidikan Kewarganegaraan. Namun demikian,
karena muatan materi Pancasila dalam PKn belum mencakup keseluruhan kompetensi
tentang Pancasila sebagai dasar dan idologi bangsa, maka sepantasnya menurut
pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran/mata kuliah yang khusus membahas
Pancasila dibelajarkan lewat mata pelajaran/mata kuliah khusus Pendidikan
Pancasila.
Daftar
Pustaka
Aman,
Sofyan, dkk. 1982. Pedoman Didaktik Metodik Pendidikan Moral Pancasila untuk
para Guru SD, SLTP dan SLTA. Jakarta: PNBalai Pustaka.Anonym. 2011.
“Cukupkan Pendidikan
Kewarganegaraan?”
http://edukasi.kompas.com/read/2011/05/06/10495397/Cukupkah.Pen
didikan.Kewarganegaraan.
(11Mei 2011).
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Surat
Keputusan Dirjen Dikti No.43/Dikti/2006 tentang Rambu rambu Pelaksanaan Mata
Kuliahpengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.Undang Undang Republik
Indonesia No. 22 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Yudhoyono,
Soesilo Bambang. 2006. Pidato Peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni 2006. Dalam
Nasution, Irfan dan Agustinus, Rony (ed) Restorasi Pancasila: Mendamaikan
Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press.
hay bosku anda bingung mencari bandar togel
BalasHapusyuk bergabung bersama kami di togel pelangi
togel terbaik dan terpecaya 100% aman
http://www.togelpelangi.com/