Kamis, 17 Desember 2015

PERAN PENTING AKAL DAN PENGETAHUAN

PERAN PENTING AKAL DAN PENGETAHUAN

Pandangan Tentang Akal
Akal, meskipun memiliki begitu banyak istilah-istilah khusus, secara umum dapat dibagi dalam dua realitas:
A. Akal teoritis
Akal ini, menurut sebuah istilah, hanya terkhusus untuk menganalisa dan mengkaji persoalan-persoalan yang bersifat teoritis, serta wilayah penilaian dan keputusan akal ini senantiasa berada pada aspek-aspek "ada" (keberadaan) atau "tiada" (ketiadaan). Dalam wilayah akal ini terdapat tiga tingkatan dan tahapan yang membentuk sebuah pemikiran teoritis pada seseorang, yaitu tahapan imajinasi, khayal, dan indera lahiriah. Hasil-hasil yang diperoleh dari akal ini adalah suatu kebenaran yang berkaitan dengan perkara-perkara eksistensial atau masalah-masalah kewujudan. Hal-hal yang dibahas di dalamnya misalnya, pembuktian tentang wujud Tuhan, penegasan keberadaan Nabi, urgensi eksistensi alam akhirat, dan yang semacamnya.
B. Akal praktis
Akal ini, menurut istilahnya, hanya menganalisa persoalan-persoalan praktis, dan wilayah penilaian serta keputusannya berada pada dimensi-dimensi "keharusan" (kemestian dan kewajiban) dan "larangan" (ketidakbolehan). Hasil-hasil yang dicapai dari akal ini adalah suatu kebenaran yang bersifat relatif atau hal-hal yang tidak terkait langsung dengan masalah-masalah eksistensial. Ranah dan domain pembahasannya misalnya berkaitan dengan hak-hak manusia seperti hak kebebasan, hak kepemilikan, hak tinggal, dan hak-hak lainnya. Potensi-potensi yang berada di bawah akal praktis ini antara lain adalah syahwat dan emosi, dan melalui kedua potensi inilah akan terbentuk berbagai tahapan-tahapan berbeda dari kehendak, iradah, dan keinginan.
Mungkin saja akal manusia akan berhenti dan terbatas pada tahapan-tahapan tertentu di atas, seperti dalam akal teoritis misalnya, terdapat kemungkinan bahwa pemikiran teoritis seseorang akan terbatas hanya pada tahapan imajinasi atau berhenti pada tahapan indera lahiriahnya saja. Dan bisa jadi pula, seseorang untuk membangun niat dan motivasi perilaku dirinya akan memanfatkan akal yang telah terwarnai oleh syahwat dan emosi. Pada tiap-tiap bentuk ini, meskipun adalah benar menyebutnya sebagai suatu bentuk tafakkur, berkontemplasi, dan berpikir, akan tetapi, pada hakikatnya akal baru bisa dikatakan mencapai suatu tahapan akal yang sempurna dan hakiki ketika akal teoritis tersebut telah mencapai pengetahuan yang universal dengan petunjuk, panduan, dan arahan imajinasi, khayal, dan indera lahiriah, atau akal praktis tersebut telah mampu melepaskan diri dari cengkeraman syahwat dan pengaruh emosi secara total dalam mengkontruksi dan mengatur motivasi-motivasi dan niat-niatnya.
Di sinilah sehingga para pemilik akal atau pemikir mampu menentukan langkah-langkah mendasar dan fundamental untuk mencapai tahapan akal murni dan meraih akal sempurna dengan cara menggunakannya secara maksimal pada aspek-aspek positif dalam kehidupan di alam ini dan melakukan proses penyelamatan dirinya dari segala bentuk penyimpangan, kesalahan, dan kekeliruan.
Perlu dikatakan bahwa pengetahuan dan makrifat teoritis adalah berbeda dengan akal teoritis, demikian juga, pengetahuan praktis adalah berbeda dengan akal praktis. Yang benar adalah bahwa akal teoritis bertanggung jawab atas segala pemikiran, baik hal tersebut bersifat pengetahuan teoritis ataupun pengetahuan praktis, sedangkan akal praktis bertanggungjawab atas segala bentuk motivasi, baik motivasi tersebut berhubungan erat dengan aspek-aspek keimanan dan hakikat-hakikat kebenaran ataupun berkaitan dengan pelaksanaan dan pengamalan hak-hak manusia yang bersifat relatif.
Kesalahan Sikap Mengasingkan Akal Dari Masalah Agama
Kesulitan pembahasan masalah ketuhanan secara rasional—sebagaimana telah disinggung—telah membuat sebagian orang menganggap kajian dalam masalah ini adalah kesia-siaan. Mereka menganggap sepatutnya energi, waktu, dan pikiran manusia dicurahkan untuk mengatasi hal-hal yang mungkin diatasi dan diharapkan memberi keberhasilan yang lebih besar daripada membahas masalah yang sulit dan tidak jelas hasilnya. Dengan kata lain, akal manusia tidak berkompeten dalam kajian ketuhanan.
Anggapan ini melahirkan tiga kelompok. Pertama, “para pembela akal”. Mereka menyatakan filsafat bertentangan dengan agama, dan keduanya bertentangan dengan ilmu yang bersandar pada indera dan pengalaman; bahwa fase mitologis, filsafat, dan agama, secara kronologis adalah fase-fase yang dilewati manusia—lalu mereka tinggalkan—setelah mencapai fase saintifik.
Kedua, “para pembela agama”. Mereka menyatakan agama menolak, membatalkan, dan tidak selaras dengan filsafat dan kajian rasional dalam masalah ketuhanan; sikap relijius tidak sama dengan sikap filosofis dan tujuan agama berbeda dengan tujuan filsafat.
Kelompok pertama menyebabkan “matinya metafisika” di dalam kajian filsafat Barat. Kelompok kedua menyebabkan redupnya “Ilmu Makrifatullah” di kalangan mayoritas dunia Islam. Dengan alasan menyelamatkan al-Quran dari perubahan dan penyelewengan, kelompok yang telah lama mendominasi pola pikir mayoritas umat Islam ini secara sengaja atau tidak telah mengasingkan pengajaran filsafat dan hikmah dari lembaga-lembaga Islam serta mengabaikan banyak sekali ayat al-Quran yang menyerukan nazhr, ta’aqqul, tadabbur, dan yang semacamnya.
Kedua kelompok tersebut boleh jadi “lebih baik” daripada kelompok ketiga, yaitu orang-orang yang menolak untuk menggerakkan akalnya untuk menjawab masalah ketuhanan semata-mata karena malas dan ingin hidup berleha-leha, atau karena mereka menyangka bahwa jika mereka “menemukan” Tuhan, berarti mereka masuk ke dalam “perangkap” aturan-Nya yang memberatkan dan mencegah mereka melakukan apa yang diinginkan.
Ustadz Mishbah al-Yazdi menyebut orang jenis ketiga ini sebagai orang yang lebih dungu daripada anak kecil yang menolak diajak berobat ke dokter lantaran takut meminum obat yang pahit. Ini terjadi karena anak itu belum dapat membedakan antara yang berguna dengan yang berbahaya. Sedangkan orang-orang dewasa dan berakal seharusnya sudah mampu membedakan hal tersebut serta mampu menimbang antara kenikmatan yang temporal dengan azab yang abadi.
Sedang mengenai anggapan orang yang menyerukan pengasingan akal dari pembahasan ketuhanan karena pembahasan ini sulit dan peluang mendapatkan hasilnya kecil, Ustadz Mishbah membantah dengan dua alasan. Pertama, harapan untuk mendapat jawaban dalam masalah ketuhanan sebenarnya tidak lebih kecil daripada harapan untuk mendapat jawaban dalam masalah ilmiah. Dalam masalah ilmiah pun, manusia baru menuai hasil puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun lamanya setelah para ilmuwan mengerahkan segala upaya mereka.
Kedua, nilai kemungkinan tidak diukur dengan kadar kemungkinan (qadr al-ihtimal)-nya saja, tapi juga dengan kadar yang dimungkinkan (qadr al-muhtamal)-nya. Contoh, jika kadar kemungkinan keberhasilan sebuah usaha hanya 5%, tapi kadar laba yang dimungkinkannya Rp 1.000, sedangkan kemungkinan keberhasilan usaha lain 10%, tapi labanya hanya Rp 100, maka usaha yang pertama lima kali lipat lebih menguntungkan daripada usaha yang kedua.
Dengan demikian, sikap kelompok-kelompok di atas terbukti salah. Karena ini, Allamah Thabathabai menegaskan bahwa pendapat-pendapat mereka tidak bernilai. “Para pembela akal” itu justru mencela akal karena mereka memenjara akal dengan rantai materi dan memasung pikiran dengan belenggu dunia fisik. Mereka enggan mengangkat pandangan dari kajian-kajian empirik dan tidak mau menanggalkan jubah dunia fisik walau sejenak, lalu langsung membuat putusan tentang dunia metafisika berdasarkan apa yang mereka tahu. Karena itu, putusan mereka tidak adil dan asumsi mereka tidak tepat.  Sedangkan “para pembela agama” mencela agama karena kesalahpahaman mereka terhadap filsafat. Mereka menyangka filsafat hanyalah sekumpulan perkataan sejumlah orang yang dikenal sebagai failasuf, ada yang dari bangsa Yunani dan ada yang bukan, ada yang mulhid dan ada yang bertakwa, ada yang kafir dan ada yang mukmin, ada yang mengakui Khalik dan ada yang menentang-Nya, ada yang benar dan ada yang salah. Mereka menganggap para pelajar filsafat hanyalah orang-orang yang ingin menyerupakan diri dengan para failasuf tersebut dan mempelajari pendapat mereka hanya untuk bertaklid kepada mereka.
Jika filsafat seperti itu, menurut Thabathabai, lebih baik ia tidak ada dan lebih baik bagi orang yang menghormati dirinya untuk tidak mengenalnya. Tapi filsafat sama sekali tidak seperti itu. Filsafat adalah kajian argumentatif untuk menemukan hakikat. Kajian ini tidak mungkin mengkultuskan para tokoh dan pendapat mereka, dan tidak mungkin menomorsatukan kesepakatan para ahli dan popularitas mereka. Pencarian kebenaran suatu masalah tidak mungkin dilakukan dengan mencukupi diri dengan pendapat orang-orang dalam masalah itu dan ketenangan jiwa berkat diperolehnya kebenaran tak mungkin diraih dengan bersandar kepada pendapat seseorang atau sekumpulan orang.
Urgensi Kajian Rasional Dalam Pandangan al-Quran
Setelah sikap mengasingkan akal dari pembahasan masalah ketuhanan jelas tidak dapat dipertahankan, sekarang mari kita melihat bagaimana Islam, terutama melalui sumber utama ajarannya, yaitu al-Quran, mendorong kajian rasional, baik secara umum maupun dalam pembahasan masalah ketuhanan. Seruan al-Quran untuk melakukan kajian rasional secara umum adalah seruan yang sangat jelas dan tidak dapat ditakwilkan. Al-Quran menjadikan kajian rasional sebagai faridhah diniyah dan fungsionalisasi akal sebagai faridhah ilahiyah. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari kewajiban ini dan ia akan dihisab di akhirat mengenai seberapa baik atau buruk ia menggunakan akal.

Fakta pertama dari al-Quran adalah banyaknya penyebutan kata akal. Al-Quran memang tidak menyebut kata ini dalam bentuk mashdar, melainkan dalam bentuk derivasinya sebagai fi’l (mâdhi maupun mudhâri) sebanyak 49 kali, yaitu ‘aqalûhu, na’qilu, dan ya’qiluhâ masing-masing sebanyak satu kali; ya’qilûn 22 kali; dan ta’qilûn 24 kali. Tapi, al-Quran menyebut sinonim-sinonim akal dalam bentuk mashdar, seperti lubb dan jamaknya albâb, hilm dan jamaknya ahlâm, juga kata hijr, nuhâ, qalb, dan fuâd, di samping banyak sekali ayat yang menyebut fungsi-fungsi akal.
Ayat-ayat tersebut dapat dimasukkan ke dalam 5 kategori: (1) Yang memotivasi penggunaan akal sebagai kemampuan fitriah, (2) Yang menunjukkan fungsi akal seperti nazhr, tabashshur, tadabbur, tafakkur, i’tibâr, tafaqquh, dan tadzakkur, (3) Yang memuji para pemilik akal yang cerdas yang menggunakan akal bukan untuk tidak berbuat jahat saja, tapi hingga mencapai derajat memiliki ilmu yang mendalam tentang perbedaan antara yang baik dengan yang paling baik, (4) Yang mencela orang-orang yang menelantarkan dan tidak memfungsikan akal, (5) Yang menunjukkan sinonim-sinonim akal.
Fakta kedua seputar perhatian al-Quran terhadap kajian rasional secara umum terlihat pada perhatiannya yang sangat besar terhadap buah penggunaan akal, yaitu ilmu pengetahuan. Ini dapat dilihat dari banyaknya kata ‘ilm dan derivasinya di dalam al-Quran, hingga 900 kali. Bahkan, ayat yang pertama turun pun berkaitan dengan ilmu. Ini menunjukkan tingginya posisi dan eratnya relasi ilmu dengan agama. Pujian terhadap ilmu, penghormatan terhadap ulama, dan penjelasan tentang instrumen, metode, dan derajat ilmu yang diberikan al-Quran tidak akan didapati bandingannya di dalam kitab-kitab apa pun sebelumnya.
Masih banyak fakta lain mengenai posisi akal di dalam al-Quran. Tapi, yang paling penting dalam tulisan ini adalah fakta-fakta yang berkaitan dengan peran akal dalam menegaskan keberadaan hal-hal gaib, terutama wujud Allah dan ke-Esaan-Nya. Iman kepada kegaiban merupakan sifat pertama orang beriman. Kegaiban yang dimaksud adalah segela sesuatu yang tidak dapat dipercayai kecuali dengan berita yang meyakinkan. Pertanyaan yang mencuat di sini adalah, adakah ruang bagi argumentasi rasional dalam mengafirmasi kegaiban? Jawabannya, pertama, untuk mengetahui apakah sebuah berita meyakinkan atau tidak, diperlukan bukti demonstratif ilmiah tentang sumbernya, sehingga berita itu sendiri menjadi bukti ilmiah yang pasti.
Kedua, Al-Quran tidak menjadikan penetapan wujud Allah sebagai wacana asasi karena hal ini sudah merupakan fitrah manusia dan langsung berfokus pada penetapan ke-Esaan-Nya. Tapi, untuk menegaskan keberadaan Allah, al-Quran mengungkap dua bukti sangat empirik-rasional. Pertama, bukti penciptaan (dalîl al-khalq), yaitu penetapan wujud Allah melalui perbuatan-Nya yang tidak dapat dilakukan oleh selain-Nya, yaitu penciptaan. Kedua, bukti pemeliharaan (dalîl al-‘inâyah), yaitu penetapan wujud Allah dengan mengarahkan akal pada kecermatan dan keteraturan sistem alam semesta.
Untuk menetapkan ke-Esa-an Allah, al-Quran pun menggunakan metode dan dalil-dalil rasional yang menjamin akal dan hati mencapai kebenaran. Begitu juga dalam membantah pendapat kelompok-kelompok yang tidak mempercayai tauhid, yaitu kaum musyrik dan Ahlul Kitab. Begitu juga yang dilakukan al-Quran dalam menetapkan kenabian Muhammad SAW dan menetapkan kebangkitan dan balasan bagi manusia di akhirat.
Dengan melihat data-data dari al-Quran tersebut, tak dapat diragukan lagi bahwa akal diberikan tempat yang sangat luas dalam pembahasan masalah kegaiban. Dan dengan demikian, tidak ada lagi alasan bagi “para pembela agama” untuk mengasingkan agama dari akal.
Keselarasan akal dan filsafat dalam masalah ketuhanan
Mengasingkan agama dari filsafat adalah salah, begitu juga mengasingkan akal dari agama. Bahkan, menurut Thabathabai, sikap ini adalah kezaliman yang besar. Sebab, agama tidak lain dari sekumpulan pengetahuan i’tikadi ilahi yang disebut ushuluddin, serta pengetahuan fiqih dan akhlak yang disebut furu’uddin. Para nabi adalah orang-orang yang membimbing manusia kepada kehidupan yang utama dan kebahagiaan hakiki. Kebahagiaan hakiki adalah seseorang mencapai pengetahuan hakiki dengan instrumen yang dianugerahkan Allah kepadanya dan merupakan bagian keberadaannya, lalu melangkah dalam kehidupan praktis secara “adil” dan “istiqamah”. Para nabi tidak mungkin melakukan bimbingan ini jika mereka mengabaikan pembuktian rasional dan dalil-dalil demonstratif.
Nabi tidak mungkin menyuruh manusia untuk taat kepadanya tanpa bukti, atau meminta mereka melangkah di belakangnya tanpa dalil yang masuk akal, karena ini bertentangan dengan watak manusia dan tidak selaras dengan struktur keberadaan dan asal penciptaan mereka. Selain itu, meskipun nabi menerima pengetahuan dan prinsip-prinsip dakwah dari sumber gaib, yaitu wahyu, tapi sejatinya tidak ada perbedaan antara seruan nabi kepada kebenaran dengan upaya manusia berdasarkan fitrahnya untuk meraih pengetahuan ketuhanan. Sebab, meskipun para nabi telah mencapai ufuq pengetahuan yang paling tinggi, namun kemudian mereka turun kepada level pemahaman manusia. Nabi saw bersabda, “Kami sekalian nabi diperintah untuk berbicara kepada manusia sesuai dengan kadar akal mereka.”
Nabi tidak mungkin membawa manusia kepada sesuatu yang tidak masuk akal dan menuntun mereka layaknya menuntun binatang. Sebaliknya, jika ia berbicara dengan mereka, maka ia berbicara dengan apa yang mereka pahami. Ringkasnya, agama tidak menyeru manusia kecuali untuk mencari hakikat-hakikat ilahi dengan kemampuan rasional yang ditanamkan pada dirinya, dan inilah yang disebut dengan filsafat ketuhanan.
Lebih lanjut lagi, Thabathabai mengatakan bahwa filsafat ketuhanan Islam adalah filsafat dalam bentuknya yang sempurna. Manusia telah dan akan terus menjadi makhluk yang mencintai wujud eksternal. Pembenarannya akan keberadaan wujud eksternal ini memaksanya untuk memisah dan memiliah antara yang hak dengan yang batil, yang benar dengan yang salah, yang nyata dari yang tidak nyata, lalu memegang yang nyata dan berpaling dari yang tidak nyata. Hal ini ia lakukan dalam seluruh aspek kehidupannya. Kemudian, kemampuannya untuk menggeneralisasi membuatnya meluaskan kajian untuk membahas wujud itu sendiri dengan berbagai karakteristik, jenis, dan sifatnya dari segi yang paling umum. Ia pun berpikir tentang tema-tema seperti illah dan ma’lûl, imkân dan wujûb, quwwah dan fi’l, qidam dan hudûts. Upayanya dalam mencari kebenaran inilah yang disebut dengan filsafat.
Kajian-kajian ini mengingatkan manusia untuk beralih dari kajian di dunia fisika kepada kajian di dunia metafisika. Ketika ia mencari asal muasal wujud, ia menyadari bahwa dunia materi tidak dapat berada dengan dirinya sendiri, atau membutuhkan kepada Yang Lain yang keberadaan-Nya tidak tergantung kepada yang lain lagi. Inilah Filsafat Ketuhanan. Kajian ini sebenarnya termasuk dalam filsafat umum, tapi karena urgensinya melebihi kajian dalam tema-tema lain, dan konklusi yang dihasilkannya—yaitu tauhid—akan mempengaruhi kajian dalam semua tema lain tersebut tanpa kecuali. Konklusi ini mengubah tema-tema filsafat dari kondisi tercerai-berai menjadi terintegrasi, terkait, dan tersistematisasi.
Filsafat ketuhanan ini terus berkembang, mulai dari India, Mesir Kuno, Babilonia, Romawi, dan Yunani, hingga disempurnakan oleh Islam. Islam adalah penyempurna filsafat ketuhanan bukanlah klaim kosong atau pujian emosional. Ini dapat diperiksa dengan memeriksa, mengkaji, dan mempelajari ajaran-ajaran Islam. Tidak diragukan lagi bahwa setiap peneliti yang jujur dan kapabel untuk mengakses sumber akan melihat bahwa Filsafat Ketuhanan Islam telah membawa kajian ini ke level paling umum sehingga semua wujud tercakup di dalamnya, lalu membawanya kembali ke dalam kehidupan nyata manusia untuk mengatur seluruh aspek etis dan praktisnya.
Thabathabai mengatakan, “Islam telah membawa filsafat ketuhanan ke puncak kesempurnaan yang dapat dibayangkan, karena segala sesuatu yang diajarkannya bersifat mengalirkan hukum lahut ke dalam setiap ilmu dan amal.” Sebab, manusia, berdasarkan struktur penciptaannya, melangkah untuk meraih ilmu pengetahuan yang dibutuhkan jasmani dan rohaninya. Ia tidak butuh sesuatu yang tidak berkaitan dengan perbuatannya. Aspek ini sangat jelas jika kita membandingkan bangsa-bangsa beradab modern dengan umat Islam. Bangsa-bangsa beradab itu telah memisahkan antara filsafat ketuhanan dengan perbuatan, sehingga undang-undang dan hukum-hukum praktis mereka terpisah sama sekali dari agama, sehingga banyak orang pintar di kalangan mereka sama sekali tidak paham masalah filsafat ketuhanan yang sangat sederhana. Ini berbeda dengan seorang muslim yang baik. Allah SWT pasti memiliki tempat dalam setiap duduk dan berdirinya, tidur dan terjaganya, hidup dan matinya, serta zahir dan batin kepribadiannya.
Korelasi Agama dan Akal
Antara agama dan akal terdapat hubungan dua arah dimana hubungan ini berada dalam bentuk yang sedemikian eratnya sehingga mustahil membayangkan adanya pemisahan di antara keduanya. Makna hubungannya bisa dijabarkan dalam bentuk yang lain.
Agama dari satu sisi telah menjelaskan urgensi akal dalam dua dimensi teoritis dan praktis, misalnya dalam salah satu ayat-Nya Allah Swt berfirman, "Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah senantiasa turun di antara keduanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu." (QS. ath-Thalaq: 12)
Berdasarkan ayat ini, tujuan penciptaan seluruh langit adalah keberilmuan seluruh manusia, dan karena akal teoritis memegang tanggungjawab dalam pemikiran dan tafakkur, maka menjadi jelaslah bahwa hasil-hasil pemikiran yang berangkat dari penciptaan keseluruhan langit dan alam, sangat bergantung pada akal teoritis ini, dan manusia ketika meraih tujuan hakiki penciptaan alam, maka niscaya dia telah berhasil memanfaatkan dan menggunakan secara maksimal potensi akalnya dan juga dengan perantaraan akal teoritis inilah manusia akan mampu menyingkap berbagai hakikat-hakikat alam dan menambah luas pengetahuan-pengetahuan teoritisnya.
Demikian juga, dalam salah satu ayat-Nya, Allah Swt menjelaskan tentang urgensi akal praktis sebagai berikut, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS. adh-Dhariyat). Allah Swt dalam ayat ini menganggap bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia adalah ibadah dan penghambaan. Dari satu sisi, ibadah dan penghambaan berada dalam cakupan motivasi-motivasi yang benar dan hal ini tidak akan terwujud tanpa memanfaatkan akal praktis, dengan artian bahwa jika manusia tidak mampu menciptakan motivasi-motivasi yang benar dan bernilai dalam dirinya dan ia tidak mampu menentukan tujuan mulia untuk segala perbuatannya sendiri di alam materi, maka makna yang benar dan tepat dari aspek penghambaan dan ubudiyahnya ini tidak akan pernah dia temukan.
Dari sini, bisa dikatakan bahwa kesadaran tentang kebertujuan penciptaan alam dan makhluk tersebut juga merupakan hasil dari akal praktis. Dan tanpa adanya akal praktis ini, manusia tidak akan memiliki kemampuan untuk menciptakan motivasi-motivasi yang tepat, ibadah-ibadah yang lurus, dan penghambaan yang benar, dengan demikian tanpa adanya akal praktis, manusia akan terhalang dalam pencapaian tujuan hakiki penciptaannya.
Tentunya tidak tepat jika kita berkesimpulan bahwa apabila akal teoritis dan akal praktis adalah tujuan penciptaan itu sendiri, karena hal ini akan memunculkan adanya pertentangan dan kontradiksi, dengan demikian penyimpulan ini tidaklah benar karena tiap-tiap dari dua jenis akal ini dalam batasannya masing-masing memiliki peran yang riil dan hakiki, dan dua realitas yang sama-sama hakiki tidak akan pernah saling bertolak belakang dan saling menafikan satu sama lain. Dari sisi lainnya, agama di samping menyebutkan tentang nilai penting akal, juga mengajarkan tentang arah dan alur berpikir yang benar serta metodologi yang benar dalam memilih motivasi-motivasi, berarti dengan demikian, agama tidak akan meninggalkan dan melepaskan akal secara sendirian, melainkan dia akan membimbing akal untuk memperoleh hakikat-hakikat dan pengetahuan-pengetetahuan dengan menjelaskan berbagai metode dan cara-cara yang benar.
Setelah memperhatikan sebuah sisi dari suatu pemikiran, memberikan perhatian pada arah lainnya pun merupakan suatu hal yang sangat penting dan berharga. Pada sisi ini, nilai-nilai akal dan pemikiran tersebut telah dikenali melalui argumen-argumen yang kokoh dari sudut pandang agama. Penegasan nilaia-nilai ini akan terbukti dengan memperhatikan empat hal berikut ini:
1. Tolok ukur dan ruang lingkup syariat adalah hukum Tuhan;
2. Satu-satunya sumber hukum Tuhan adalah kehendak Tuhan;
3. Dalil-dalil syar'i hanyalah penyingkap dari kehendak Tuhan;
4. Dalil-dalil syar'i terbagi dalam dua kelompok yaitu aqli (rasio dan akal) dan naqli (teks-teks keagamaan), dan yang dimaksud dengan dalil naqli (tekstual) adalah kitab suci atau sunnah Nabi dan sunnah para Imam Ahlulbait Nabi. Konklusi yang bisa diambil dari keempat poin di atas adalah bahwa akal -sebagaimana halnya teks-teks keagamaan seperti kitab suci dan hadis-hadis (baik yang diriwayatkan secara tunggal maupun mutawatir), ijma' para ulama, dan yang sejenisnya- juga memiliki keistimewaan dan berperan sebagai hujjah, dalil, penjelas, dan penyingkap dari kehendak dan hukum Tuhan. Oleh karena itu, akal murni juga merupakan hujjah Tuhan dan sepadan dengan teks-teks agama yang otentik. Dengan demikian, akal sama sekali tidak memiliki perbedaan sedikitpun dengan dalil-dalil syar'i lainnya (baca: teks-teks suci agama). Demikian juga menjadi jelaslah bahwa akal tidaklah bertolak belakang dan bertentangan dengan agama serta tidak terpisah dari agama itu sendiri. Bahkan inti, pesan, dan kandungan ajaran agama itu sendiri adalah dibentuk oleh nilai-nilai aqli (rasional dan akal) dan naqli (teks-teks agama). Jadi yang terkadang bertentangan dan bertolak belakang secara lahiriah adalah akal dan teks-teks suci agama, bukan akal dan agama.
Sekarang apabila kita dengan seksama meneliti hubungan akal dan agama serta ketidakterpisahan zona-zona riil mereka, maka sangat jelaslah bagi kita akan ketidakbenaran konsep dan gagasan Sekuarisme yang memisahkan antara zona-zona akal dan agama, dan tidak bisa lagi dikatakan bahwa agama itu hanya berhubungan dengan Tuhan sebagai penentu hukum-hukum agama (syariat) dan akal tidak ada kaitannya dengan agama, karena pada dasarnya keduanya telah mendapatkan penegasan dari Tuhan dengan tanpa adanya sedikitpun pembedaan.
Dengan kata lain, sebagaimana halnya teks-teks yang otentik dan valid merupakan hujjah Tuhan, maka akal murni pun merupakan hujjah Tuhan, dan kandungan yang berada di dalamnya –dalam bentuk apapun itu– baik kandungannya yang berupa hukum-hukum fikih dan rukun-rukun keimanan (mulai dari konsep ketuhanan, keadilan Tuhan, kenabian, Imamah, dan eskatologi) adalah tidak memiliki perbedaan sama sekali dengan kandungan-kandungan yang bersumber langsung dari teks-teks suci agama. Oleh karena itu, dalam semua persoalan keagamaan, hukum-hukum yang terambil dari teks-teks hadis dan al-Quran adalah tidak berbeda dengan hasil-hasil yang diperoleh dari argumentasi akal.
Di sini kami akan mengingatkan beberapa poin:
1. Posisi akal berada dalam posisinya yang berhadapan dengan teks-teks suci agama (naqli), bukan berhadapan dengan agama itu sendiri. Dan merupakan sebuah tindakan yang tidak benar apabila kita menghadap-hadapkan akal dengan syariat (baca:agama), dan yang benar adalah membagi agama itu dalam dua kelompok, yakni argumen akal (aqli) dan teks-teks suci (naqli);
2. Keabsahan dan validitas akal memiliki syarat, sebagaimana halnya hujjiyah dan validitas teks-teks suci agama;
3. Akal bukanlah qiyas (baca: qiyas dalam hukum fikih), karena akal adalah hujjah sedangkan qiyas bukanlah hujjah.


1 komentar:

  1. hay bosku anda bingung mencari bandar togel
    yuk bergabung bersama kami di togel pelangi
    togel terbaik dan terpecaya 100% aman
    http://www.togelpelangi.com/

    BalasHapus