PAHLAWAN DIDALAM DIRI KITA
Indonesia adalah cermin yang retak.
Elite negeri hanya melihat segala sesuatu dari sudut bayangan kepentingan
masing-masing. Keakuan dan kekamian mencekik kekitaan. Rakyat kebanyakan hidup
tanpa perlindungan berarti dari negara, bak yatim piatu yang ditinggalkan,
dikhianati, dan dikorbankan. Dalam kondisi kerakyatan yatim piatu, bahaya
terbesar adalah terjebak dalam pola pikir ketergantungan dan mentalitas korban
(victim mindset), yang serba pasif menanti kedatangan juru selamat.
Krisis kebangsaan takkan pernah bisa
menemukan penyelesaian apabila rakyat terus memandang kepahlawanan sebagai
sesuatu yang berada di luar dirinya. Ketimbang terus menunggu kedatangan
pahlawan di luar sana, lebih baik warga menghidupkan kekuatan kepahlawanan
dalam diri sendiri. Seperti diingatkan psikolog Carl S Pearson, orang-orang
biasa bisa menghadirkan kehidupan luar biasa apabila mampu mendayagunakan apa
yang disebutnya sebagai ”the power of mythic archetypes”, yakni mitos tentang
fitrah (archetype) kepahlawanan dalam diri.
Menurut Pearson, ada enam model
fitrah kepahlawanan dalam diri. Pertama, model yatim piatu (orphan), dengan
memandang hidup sebagai penderitaan, dan tugas kepahlawanannya adalah berjuang
mengarungi kesulitan. Kedua, model pengembara (wanderer), dengan memandang
hidup sebagai petualangan, dan tugas kepahlawanannya menemukan kesejatian diri.
Ketiga, model pendekar (warrior), dengan memandang hidup sebagai pertarungan,
dan tugas kepahlawanannya adalah membuktikan harga diri.
Keempat, model murah hati (altruist),
dengan memandang hidup sebagai komitmen terhadap kebajikan lebih luhur, dan
tugas kepahlawanannya adalah menunjukkan pertolongan (pelayanan). Kelima, model
bersahaja (innocent), yang memandang hidup sebagai keriangan, dan tugas
kepahlawanannya adalah meraih kebahagiaan. Keenam, model tukang sulap
(magician), dengan memandang hidup sebagai seni menciptakan dunia, dan tugas
kepahlawanannya adalah mentransformasikan diri.
Di tengah kegaduhan pesta pora elite
negeri yang mabuk kepayang, yang melupakan dan menelantarkan rakyat sebagai
yatim piatu, warga tidak bisa terus meratapi penderitaan sambil melamunkan
kedatangan Sang Herucokro. Warga harus bangkit bertempur, menghidupkan fitrah
kependekaran dalam dirinya. Dengan menghidupkan jiwa kependekaran, warga bisa
menjalani kehidupan lebih gigih dan bertenaga, tak lembek membiarkan kejahatan
dan pengkhianatan berjalan tanpa perlawanan. Dengan pengaktifan daya-daya
perjuangan, tanpa perlu kekerasan, warga bisa terlibat dalam tarian kehidupan
(the dance of life), tidak sekadar penonton yang cuma pandai berteriak,
mengumpat, dan mengeluh.
Ketika politik di negeri ini menjelma
menjadi seni memerintah dengan menipu rakyat, yang menjadikan kekuasaan sebagai
sarana pemenuhan keserakahan, kepahlawanan yang harus dibangkitkan dari dalam
diri adalah jiwa ”murah hati” (altruist).
Di dalam budaya kependekaran,
pencapaian adalah segalanya. Namun, kita semua suka dinilai sebagai manusia,
terlepas dari apa pencapaian kita. Tanpa orang-orang yang bekerja tanpa pamrih,
memberikan cinta dan kepedulian tanpa berharap balasan, kehidupan masyarakat
seperti arena transaksi jual beli yang kering dan mandul. Kita perlu memiliki
makna hidup yang lebih luas sebagai panduan hidup, yang tidak sekadar didorong
oleh nafsu meraih kekuasaan dan uang. Jiwa altruist melambangkan semangat
berbagi dan kelimpahan kasih, yang dapat menyuburkan kembali bumi yang tandus.
Jika negara ini dirundung banyak penyakit, tiada lain karena yang ditumbuhkan
dalam kehidupan adalah rakus dan dengki. Jalan cinta dengan semangat berbagi
dan melayani adalah obat mujarab yang memberi kesehatan pada kehidupan.
Akhirnya, di republik korup yang
dirayakan oleh maling teriak maling, ratusan undang-undang dibuat untuk
dilanggar, dan berbagai prosedur direkayasa untuk menjadi perangkap
ketersesatan baru; yang diperlukan untuk mentransformasikan kehidupan adalah
aktor politik yang mampu menghidupkan kekuatan magician. Magician menjalani
hidup bersahaja (innocent), tetapi lebih aktif sebagai pembuat perubahan.
Seorang magician bersedia bangkit berdiri, bahkan jika penuh risiko atau
menuntut perubahan revolusioner. Namun, berbeda dengan para warrior,
aktor-aktor magician tidak berilusi untuk mengontrol sepenuhnya kehidupan;
sebaliknya mereka bersedia membiarkan dirinya menjadi bagian yang
ditransformasikan oleh kehendak zaman.
Dengan demikian, mereka mampu membaca
arus dan arah pergerakan kehidupan lebih jernih yang dapat memberikan efek
perubahan lebih dahsyat, yang tampak seperti magic. Jika para warrior berstrategi
menggunakan kehendak dan kekerasan hati untuk membuat perubahan, para magician
percaya kekuatan visi akan menciptakan momentumnya tersendiri. Karakter seperti
itulah yang tampak dari para magician terkemuka dunia, seperti Mohandas K
Gandhi dan Martin Luther King.
Kalau ada yang paling salah dalam
proses pembelajaran politik di negeri ini, hal itu tak lain pahlawan selalu
ditempatkan di kesilaman di luar diri, tetapi tak pernah dihadirkan di kekinian
di dalam diri. Pahlawan selalu merupakan sesuatu tanpa penantian dan kematian,
tidak pernah menjanjikan kehadiran dan kehidupan.
Saatnya kita jadikan kepahlawanan
sebagai sesuatu yang hidup di dalam diri, sekarang dan di sini, dengan
mentransformasikan diri secara terus-menerus sehingga mampu mengubah situasi
penderitaan menjadi wahana penempaan diri menjadi seorang magician.
hay bosku anda bingung mencari bandar togel
BalasHapusyuk bergabung bersama kami di togel pelangi
togel terbaik dan terpecaya 100% aman
http://www.togelpelangi.com/