MENGUJI GURU
Dalam khazanah pendidikan Islam ada
ungkapan populer: ”Attariqah ahammu min al maddah. Al mudarrisu ahammu min
attariqah. Wa ruhu al mudarrisu ahammu min al mudarrisu nafsihi”.
Terjemahannya: Metode lebih penting daripada materi/kurikulum. Guru lebih
penting daripada metode. Namun, roh/spirit guru jauh lebih penting daripada
guru itu sendiri.
Ungkapan di atas memberikan gambaran
tentang inti persoalan pendidikan, yaitu guru, dan menunjukkan dari mana
harusnya langkah peningkatan mutu dan kinerja guru dimulai. Pemerintah berada
pada jalan yang benar ketika hendak meningkatkan mutu pendidikan nasional
dengan menjadikan guru sebagai tenaga profesional. Melalui Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kualifikasi dan kompetensi guru
diobyektifkan. Perekonomian guru juga ditingkatkan melalui tunjangan profesi
bagi yang telah tersertifikasi. Namun, hampir 10 tahun kebijakan itu
dijalankan, mutu dan kinerja guru tak kunjung membaik.
Meski secara normatif benar,
implementasi kebijakan profesionalisme dengan penilaian portofolio bagi guru
dalam jabatan tidak menyasar secara efektif pada pemecahan inti persoalan dan
peningkatan kualitas sebagaimana diharapkan oleh UU. Kegiatan sertifikasi
terbatas pada kegaduhan administratif, sementara tunjangan profesi malah
menumbuhkan mentalitas materialistik. Bukan kali ini saja kebijakan pemerintah
dalam membenahi mutu guru tak efektif. Sebelumnya, pembubaran sekolah
pendidikan guru (SPG) di awal 1990-an, pengalihan institut keguruan dan ilmu pendidikan
(IKIP) jadi universitas pada 1999 juga tampak tak tuntas dan tak membuahkan
hasil.
Bila kualitas guru rendah—oleh sebab
itu mutu pendidikan juga rendah—tak sepenuhnya kesalahan guru, juga karena
pengelolaan yang buruk. Mereka yang jadi guru di negeri ini umumnya bukanlah
berasal dari pelajar yang berminat dan berprestasi terbaik. Pilihan memasuki
sekolah guru atau lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) adalah ”pilihan
terpaksa” setelah tidak diterima pada jurusan idola lainnya. Setelah menjadi
guru, sebagian besar tidak pernah mendapatkan pendidikan dan pelatihan: tak
heran bila sikap dan pengetahuannya ”memfosil”.
Program profesionalisme sejatinya
jadi momen emas untuk perbaikan mutu dan kinerja guru, khususnya guru dalam
jabatan. Tunjangan profesi yang disediakan pemerintah seyogianya dijadikan
sebagai insentif dari keikutsertaan dalam proses sertifikasi yang efektif.
Sayangnya, sejak awal, kesempatan itu tidak dimanfaatkan sungguh-sungguh oleh
pemerintah. Alhasil profesionalisme yang kedengarannya keren hanya berdampak
pada peningkatan ekonomi sebagian guru, dan menyisakan lebih dari 1,4 juta guru
yang belum disertifikasi hingga 2015, sebagai batas akhir yang ditetapkan UU.
Paradigma evaluatif
Menyaksikan ketiadaan efek positif
pada kualitas, semasa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh dicoba intervensi
terhadap mutu guru melalui kebijakan uji kompetensi awal (UKA) sebagai bagian
sistem seleksi sertifikasi. Belakangan UKA menjadi uji kompetensi guru (UKG)
yang dinyatakan sebagai upaya pemetaan dalam rangka pengembangan keprofesian
berkelanjutan.
Namun, program kelanjutan pemanfaatan
hasil UKG tak terekspos cukup jelas sehingga kegiatan evaluatif ini sepertinya
jadi andalan utama dalam meningkatkan mutu. Sekitar 1,6 juta guru yang di-UKA
dan UKG terdahulu belum dapat sentuhan lanjutan, padahal nilai mereka rata-rata
di bawah 5. Bahkan pada 2015 mereka diwajibkan ikut UKG lagi. Selain UKG, guru
juga akan menghadapi ”penilaian kinerja” di lapangan. Menguji, menilai, dan
mengawasi sebagai jalan peningkatan mutu agaknya menjadi paradigma yang
dikembangkan oleh Kemdikbud.
Sebagaimana ujian nasional pada
siswa, guru akan di-UKG setiap tahun. Rencana Strategis Kemdikbud 2015-2019
telah mematok target skor 5,5 untuk 2015 dan berturut-turut hingga 2019 adalah
6,5; 7,0; 7,5; dan 8,0. Target yang telah ditetapkan biasanya akan selalu
tercapai sebagai tanda kesuksesan kinerja kementerian.
Konon, Kemdikbud telah menyiapkan 10
modul untuk mengelompokkan guru atas hasil UKG, berdasarkan itu para guru akan
mendapatkan materi dan pelatihan. Tentunya Kemdikbud juga memiliki desain dan
model pelatihan mustajab yang menjamin terjadinya perubahan revolusioner pada
kompetensi sehingga guru perlu diuji setiap tahun. Jika tidak, lalu untuk apa
UKG dengan biaya miliaran rupiah diadakan setiap tahun?
Dalam memotret kompetensi guru,
kemampuan UKG menangkap fakta empirik terbatas pada aspek ”pengetahuan” guru
tentang pedagogi dan materi pelajaran. UKG tak dapat memotret kompetensi itu
ketika diterapkan dalam praktik kelas, apalagi memotret roh atau spirit guru
yang sebenarnya sangat penting, seperti di awal tulisan ini. Memang akan ada
”penilaian kinerja” untuk melengkapi hasil UKG, tetapi apakah Kemdikbud punya
waktu dan kecermatan mengombinasikan penilaian individual itu dengan hasil UKG
sehingga posisi seorang guru terpetakan secara komprehensif? Kapan
intervensinya jika pemerintah sibuk menguji dan menilai dari tahun ke tahun.
Dari hasil UKG tak dapat disimpulkan
demikianlah sosok, kualitas, atau persoalan guru. Maka, kebijakan akan
mengalami diskrepansi bila hasil UKG dijadikan dasar pertimbangan utama dalam
pemecahan masalah dan kualitas guru. Situasi buruk sesungguhnya berakar pada
sistem perekrutan, pendidikan, dan pengembangan guru sehingga pembenahan
mendasar harus dimulai dari hulu persoalan ini. Sementara guru dalam jabatan,
kompetensinya dapat ditingkatkan secara sistemik melalui pengelolaan
motivasinya.
Roh keguruan
Pemerintah akan kewalahan
meningkatkan kompetensi dalam situasi mental para guru yang ketiadaan aspirasi.
Rendahnya kompetensi pedagogi dan profesional guru, menurut hemat saya, adalah
dampak dari rendahnya motivasi yang berakumulasi dalam rentang panjang. Sedari
awal kebanyakan tak ada ”panggilan” hati, bekerja dengan pendapatan tak
menarik, lalu hidup di tengah situasi bangsa yang serba korup membuat para guru
kehilangan argumentasi dan aspirasi tentang keharusan menjadi guru yang baik.
Pengelolaan motivasi hal utama yang
harus dilakukan dalam upaya peningkatan kompetensi. Tanpa motivasi, jangankan
diberi pembelajaran dan pelatihan, diminta studi mandiri atau melalui
musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) dan kelompok kerja guru (KKG), diberi
uang sekalipun (tunjangan profesi) kompetensi tak meningkat. Perbaikan diri
secara berkelanjutan dimungkinkan jika dan hanya jika roh keguruan yang
termanifestasi dalam motivasi terbangunkan.
Membangun motivasi dan kinerja harus
menyentuh aspek esoterik guru, di antaranya melalui penguatan keterkaitan
antara pekerjaan mengajar/mendidik dengan misi dan tujuan hidup guru selaku
manusia. Sebagai manusia, pada dasarnya bekerja adalah perwujudan misi dan
bakti kepada Sang Pencipta melalui amal kemanusiaan. Para guru harus diajak
memberi makna pada pekerjaannya karena ”guru” telah menjadi nasib yang tak
terhindarkan, suka atau pun tidak suka. Pemerintah perlu merancang program
menggairahkan guru bekerja, bukan membebaninya dengan ketegangan tak perlu atau
mendiskreditkannya.
Pelatihan motivasi sudah lazim
dilakukan dalam korporasi dan punya landasan teori yang cukup kuat, pendekatan
dan metode efektif, serta hasil relatif terukur. Pelatihan guru kita belakangan
ini, meski masih acak dan sporadis, mulai mengadopsi motode korporasi
menggantikan model ”penataran” yang dipenuhi ceramah membosankan. Pengalaman
penulis bertahun-tahun memodifikasi dan menerapkan pelatihan tersebut untuk
mengubah pola pikir dan membangun motivasi guru memang efektif dan nyata
hasilnya.
Andaikan pelatihan motivasi dan
kinerja dijalankan pemerintah dalam sebuah strategi yang sistemik dan tidak
bersifat ”proyek” semata, diyakini hasrat guru meningkatkan kompetensinya
lambat laun jadi kenyataan.
hay bosku anda bingung mencari bandar togel
BalasHapusyuk bergabung bersama kami di togel pelangi
togel terbaik dan terpecaya 100% aman
http://www.togelpelangi.com/