OPTIMISME PENDIDIKAN 2016
“Tanah Air kita meminta korban. Dari
di sinilah kita siap sedia memberi korban yang sesuci-sucinya. Sungguh, korban
dengan ragamu sendiri ialah korban yang paling ringan. Memang awan tebal dan
hitam menggantung di atas kita. Akan tetapi, percayalah di baliknya masih ada
matahari yang bersembunyi. Kapan hujan turun dan udara menjadi bersih
karenanya?”
(Ki Hadjar Dewantara).
KUTIPAN dari Ki Hadjar Dewantara di
atas merupakan pertanda selalu ada optimisme dalam mengelola pendidikan. Meskipun
tantangan dan rintangan tidak mudah untuk dihindari, dunia pendidikan harus
terus meniupkan napas optimismenya karena menyangkut masa depan bangsa. Cara
yang paling mungkin dan mudah untuk dilakukan ialah kemauan untuk selalu
belajar dari kesalahan, melihat data-data statistik persoalan-persoalan
pendidikan kita secara cermat, dan melakukan usaha perbaikan berdasarkan
data-data tersebut.
Laporan OECD tentang pendidikan
selama 2015, misalnya, dapat menjadi acuan kita untuk melakukan perubahan.
Laporan tersebut setidaknya mengindikasikan masih banyaknya negara yang
kerepotan dalam menangani pembiayaan pendidikan karena terjadinya perlambatan
ekonomi. Selain itu, hal tersebut juga disebabkan angka-angka statistik yang
berkaitan dengan angka kelulusan sekolah menengah yang terserap dunia kerja,
kaitan antara pendidikan dengan mobilitas sosial, kemampuan guru dan siswa
untuk menjadikan informasi dan teknologi, dan kesejahteraan guru. Lama belajar
dan mengajar rata-rata guru dan siswa juga masih harus dianalisis secara
saksama mengingat tiap-tiap negara menerapkan sistem yang berbeda dalam
mengelola kebijakan pendidikan mereka.
Untuk kasus Indonesia, jelas
masalah-masalah di atas masih menjadi isu sentral yang tidak mudah
diselesaikan. Karut-marut implementasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah
jelas menjadi salah satu kendala yang sangat akut untuk mengubah benang kusut
pendidikan di Tanah Air. Bukan hanya kusut, dunia pendidikan juga menjadi basah
karena masa depan anak-anak selalu dipertaruhkan oleh kebodohon sesaat dan
sesat dari para politikus kita yang senang mengumbar isu-isu pendidikan untuk
kepentingan politik praktis semata.
Temuan kunci
Beberapa temuan kunci proses
pendidikan sepanjang 2015 boleh jadi akan mengangkat optimisme kita untuk menyongsong
2016. Dalam hal pencapaian pendidikan, ratarata lebih dari 85% anak-anak muda
kita lulus sekolah menengah pertama. Karena itu, kebijakan wajib belajar 12
tahun perlu terus diperhatikan. Ini artinya belanja pendidikan kita untuk
tingkat dasar dan menengah setidaknya harus terus diseimbangkan dengan angka
pertumbuhan usia anak. Jika dikaitkan dengan angka pertumbuhan pre-school
program, jelas akan lebih banyak lagi dana yang dibutuhkan mengingat angka
lembaga-lembaga penyelenggara PAUD tumbuh sangat fantastis di Indonesia.
Temuan kunci lainnya berkaitan dengan
kebijakan pendidikan sepanjang 2015 ialah tidak dijadikannya UN sebagai basis
kelulusan siswa meskipun tetap saja kebijakan itu perlu diperhatikan dengan
saksama. Sebab, pada praktiknya, belum tentu kebijakan itu serta-merta
melahirkan dan menumbuhkan kualitas pendidikan yang lebih baik.
Sebagaimana dikemukakan Robert Linn
(2001), pola penilaian eksternal jenis UN mengandung risiko terhadap berbagai
bentuk kecurangan dan malapraktik yang sering kali sulit dikontrol karena harus
melibatkan banyak pihak yang mungkin tidak memiliki hubungan langsung dengan
peningkatan kualitas pendidikan. Selain itu, juga disebabkan siswa sebelum
mengikuti UN harus mengikuti berbagai pelatihan soal, drilling soal. Jadi,
kualitas yang diperoleh kurang hakiki. Angka perolehan UN pasti akan meningkat,
tetapi pemahaman siswa terhadap konsep dan kemampuan berpikir belum tentu
berubah lebih baik. Karena itu, kebijakan tidak menjadikan UN sebagai basis
kelulusan diharapkan akan sedikit menambah kualitas proses belajar yang lebih
baik.
Optimisme itu harus diimbangi dengan
cara memperbaiki seluruh proses pembelajaran pada tingkat kelas dan kegiatan
pendukung lainnya pada lingkungan sekolah. Pendekatan model itu biasanya kurang
diminati para birokrasi pendidikan karena dinilai akan sangat melelahkan.
Pendekatan itu bukan hanya mensyaratkan kompetensi dan profesionalitas kerja,
melainkan lebih dari itu. Ia membutuhkan keikhlasan, komitmen, ketekunan, dan
kesabar an serta tanggung jawab penuh dari para pengelola dan pelaku
pendidikan. Pendekatan itu dinilai lebih konsepsional, terukur, akuntabel, dan
perubahan yang dihasilkan akan lebih menyeluruh dan berkesinambungan.
Pendekatan itu umumnya kurang disukai birokrat, politikus, dan komunitas
pendidikan, terutama bagi mereka yang sudah terbiasa dengan pola kerja
serbainstan.
Mengingat begitu strategisnya
kedudukan organisasi sekolah dalam upaya memperbaiki kualitas pembelajaran pada
tingkat kelas dan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara luas, seharusnya
para pengelola sekolah, termasuk pimpinan, pengawas, dan guru, memiliki konsep
kerja dengan langkah yang jelas, terukur, dan akuntabel dalam melaksanakan
kewajiban yang menjadi tanggung jawab mereka. Dalam konteks ini, seharusnya konsep
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan K-13 terus dimatangkan dalam
sebuah proses dan skema yang jelas dan disepakati semua unsur dalam komunitas
sekolah.
Riset pendidikan
Membangun optimisme jelas membutuhkan
banyak data yang akurat. Karena itu, dibutuhkan riset-riset pendidikan yang
lebih komprehensif berdasarkan unit analisis yang tepat. Tidak ada kata lain
selain menjadikan sekolah sebagai basis dan unit analisis riset tentang
kebijakan pendidikan. Rencana Dirjen Dikdasmen untuk membuat sekolah
percontohan nasional perlu dikaji secara serius dan relevan untuk dilaksanakan
jika basisnya ialah kebutuhan sekolah. Membuat sebanyak mungkin indikator yang
relevan untuk mengukur kualitas dan akuntabilitas menajemen sekolah itu
penting. Sebagai sebuah komunitas, menjadikan sekolah sebagai basis riset
kependidikan ialah imperatif.
Minimnya riset-riset kependidikan
sebenarnya sejalan dengan minimnya tradisi ilmiah di lingkungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka memiliki Litbang, tapi banyak hasil riset
mereka yang kurang relevan dengan kebijakan yang akan diambil dan dijalankan.
Minimnya tradisi ilmiah dalam riset kependidikan yang masih terbelenggu pada
dikotomi antara teori (ilmu) dan praktik; antara das sain dan das solen.
Padahal, dari sudut sosiologi, antara aspek teoretis dan praktik pada
hakikatnya termuat berbagai bentuk hubungan dialektis antara teori (ilmu) dan
praktik.
Pemisahan antara teori (ilmu) dan
praktik, menurut Mohammaed Arkoun, sebenarnya merupakan sisa-sisa model
Descartes, yang menyebabkan tujuan praktis cenderung hilang. Para ahli
pendidikan kita kebanyakan hanya berpikir meluaskan pengetahuan tertentu tanpa
memikirkan, baik teoretitasi maupun renungan metodologis, atau apalagi
memikirkan kegunaan pengetahuan yang terhimpun dari aspek aplikatif di sekolah.
Dalam rangka membangun optimisme
pendidikan kita ke depan, sudah saatnya setiap sekolah dilengkapi sebuah sistem
manajemen informasi sekolah, yang mengharuskan setiap guru dan kepala sekolah
terus belajar dan menulis sehingga data yang terjadi di sekolah dapat terus
tercatat sebagai bagian dari upaya menumbuhkan tradisi riset kependidikan.
hay bosku anda bingung mencari bandar togel
BalasHapusyuk bergabung bersama kami di togel pelangi
togel terbaik dan terpecaya 100% aman
http://www.togelpelangi.com/